Wikipedia

Hasil penelusuran

Rabu, 01 Januari 2025

Rangga Warsita ( 14 Maret 1802 )

 Ranggawarsita: Pujangga Terakhir dari Tanah Jawa


Raden Ngabehi Rangga Warsita, yang dikenal sebagai Ronggowarsita, adalah pujangga besar terakhir dari tanah Jawa yang meninggalkan jejak mendalam dalam sejarah dan kebudayaan Nusantara. Lahir dengan nama asli Bagus Burhan pada 14 Maret 1802, ia berasal dari garis keturunan bangsawan yang kuat. Ayahnya, Mas Pajangswara, adalah keturunan Kesultanan Pajang, sementara ibunya memiliki darah dari Kesultanan Demak. Kehidupan Bagus Burhan sejak muda penuh dengan tantangan dan lika-liku yang membentuknya menjadi sosok legendaris.


Sebagai anak muda, Burhan dikenal nakal dan gemar berjudi. Untuk mengubah perilakunya, kakeknya mengirimnya belajar agama di Pesantren Gebang Tinatar di Tegalsari, Ponorogo, di bawah bimbingan Kyai Imam Besari. Meskipun awalnya ia tetap bandel, sebuah pengalaman spiritual di Sungai Kedungwatu mengubahnya menjadi pemuda alim yang pandai mengaji. Ketika kembali ke Surakarta, Burhan diangkat sebagai cucu angkat oleh Panembahan Buminoto, adik Pakubuwana IV, dan diberi gelar Mas Pajanganom.


Namun, jalan kariernya tidak selalu mulus. Pada masa pemerintahan Pakubuwana V, karier Burhan terhambat karena ketidaksukaan raja terhadap Panembahan Buminoto, yang mendesak agar pangkat Burhan dinaikkan. Pada tahun 1821, Burhan menikah dengan Raden Ayu Gombak dan tinggal di Kediri. Namun, rasa jenuh membuatnya berkelana, bahkan konon hingga ke Bali untuk memperdalam ilmu sastra Hindu.


Tragedi besar dalam hidupnya terjadi ketika ayahnya, Mas Pajangswara, ditangkap oleh Belanda karena diduga terlibat dalam pemberontakan Pangeran Diponegoro. Meskipun disiksa hingga tewas, Mas Pajangswara tidak membocorkan rahasia apapun. Namun, Belanda tetap membuang Pakubuwana VI, raja Surakarta saat itu, ke Ambon, dengan dalih bahwa Mas Pajangswara telah membocorkan informasi. Fitnah inilah yang kemudian mempengaruhi hubungan antara Pakubuwana IX, putra Pakubuwana VI, dengan Ranggawarsita. Pakubuwana IX, yang naik takhta pada tahun 1861, kurang menyukai Ranggawarsita, menganggapnya sebagai putra dari pengkhianat.


Meskipun demikian, Ranggawarsita terus berkarya. Setelah menggantikan ayahnya sebagai Panewu Carik Kadipaten Anom, ia kemudian diangkat sebagai pujangga utama Kasunanan Surakarta pada tahun 1845 oleh Pakubuwana VII. Pada masa inilah, ia menghasilkan banyak karya sastra yang tak lekang oleh waktu. Namun, hubungan Ranggawarsita dengan pihak Belanda tetap tegang. Ia dianggap sebagai jurnalis berbahaya karena tulisan-tulisannya mampu membangkitkan semangat perjuangan pribumi. Karena tekanan ini, ia keluar dari jabatannya sebagai redaktur surat kabar **Bramartani** pada tahun 1870.


Kematian Ranggawarsita pada 24 Desember 1873 menambah lapisan misteri pada hidupnya. Tanggal kematiannya tercantum dalam karya terakhirnya, **Serat Sabdajati**, yang menimbulkan spekulasi bahwa ia mungkin dihukum mati, sehingga mengetahui dengan pasti kapan ia akan meninggal. Pendapat ini dikemukakan oleh penulis seperti Suripan Sadi Hutomo dan Andjar Any pada tahun 1979. Namun, elit keraton Kasunanan Surakarta berpendapat bahwa Ranggawarsita adalah peramal ulung yang mampu meramal hari kematiannya sendiri.


Setelah meninggal, Ranggawarsita dimakamkan di Desa Palar, Kecamatan Trucuk, Kabupaten Klaten. Makamnya menjadi tempat ziarah yang dihormati, bahkan dikunjungi oleh dua presiden Indonesia, Soekarno dan Gus Dur, pada masa mereka menjabat. Kehidupan dan kematian Ranggawarsita tetap menjadi cermin kebesaran jiwa seorang pujangga yang hidup di tengah pergolakan sejarah dan politik, meninggalkan warisan tak ternilai bagi kebudayaan Jawa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jembatan Ampera