Wikipedia

Hasil penelusuran

Selasa, 18 Maret 2025

ANALISA PENYEBARAN ORANG JAWA

 Bagaimana bisa orang Jawa dapat ditemukan di hampir seluruh provinsi di Indonesia 🇮🇩?


Etnis Jawa sendiri menyumbang sekitar 40% total penduduk Indonesia secara demografis diikuti saudara se-pulau mereka yakni Sunda dengan 15%, tentu bukan hal asing bahwa dimanapun di luar Jawa pasti kita dapat menemukan orang Jawa entah di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dll.


Bahkan mungkin di daerah kalian sendiri juga ada orang Jawa bahkan punya teman etnis Jawa, orang Jawa juga dikenal multi talenta selain sebagai buruh kuli dan arsitek juga ada yang bekerja sebagai petani, nelayan, pedagang, dll. Jadi agak mirip-mirip dengan orang Tionghoa, kira-kira kenapa ya kok banyak sekali orang Jawa di Indonesia bahkan menikah dengan penduduk setempat?


1. Asal usul


Seperti kebanyakan kelompok etnis Indonesia yang lain, termasuk masyarakat Sunda, masyarakat Jawa merupakan bangsa Austronesia yang leluhurnya diperkirakan berasal dari Taiwan dan bermigrasi melalui Filipina untuk mencapai pulau Jawa antara tahun 1500 SM hingga 1000 SM. Namun, menurut studi genetik yang terbaru, masyarakat Jawa bersama dengan masyarakat Sunda dan Bali memiliki rasio penanda genetik yang hampir sama antara genetik bangsa Austronesia dan Austroasiatik.


Masyarakat Jawa adalah perpaduan antara orang Austroasiatik berbaur / interbreeding dengan orang Austronesia yang datang kemudian. Setelah interaksi yang cukup lama dengan orang Austronesia masyarakat awal yang mendiami Pulau Jawa mulai mengadopsi bahasa Austronesia sebagai bahasa utama, sehingga mereka memiliki sekitar 20–30% gen Austronesia dan 50-60% gen Austroasiatik.


Perpaduan genetik masyarakat di Jawa juga sangat kompleks, baik itu masyarakat pesisir maupun di daerah pegunungan. Bentuk wajah masyarakat Jawa juga dominan dipengaruhi oleh Orang Austroasiatik (Seperti Orang Kamboja 🇰🇭 dan Vietnam bagian selatan 🇻🇳).


Kemungkinan mengapa masyarakat yang mendiami pulau Jawa awal mula mulai mengadopsi Bahasa Austronesia adalah menyesuaikan diri di dalam globalisasi, perdagangan maupun pertukaran budaya dan teknologi di masanya, yang kemungkinan para penutur Bahasa Austronesia mempunyai pengaruh yang sangat besar pada masa itu.


Karena masih mempunyai DNA Austronesia yang kita tahu sendiri merupakan bangsa pelaut terbaik di dunia pada masa itu, tentu orang Jawa punya teknologi pelayaran yang sangat maju dan memungkinkan mereka berlayar ke berbagai tempat untuk berdagang atau bahkan mendirikan komunitas baru di tempat tersebut dan menikah dengan penduduk lokal, kapal Jung Jawa menjadi awal mula tersebarnya orang Jawa ke seluruh Nusantara.


2. Kapal Jung Jawa 


Djong (juga disebut jong, jung atau junk) adalah jenis kapal layar kuno yang berasal dari Jawa, dan digunakan secara umum oleh pelaut Jawa; dan pada abad-abad setelahnya. Namanya dari dulu hingga sekarang dieja sebagai "jong" dalam bahasa asalnya, ejaan "djong" sebenarnya adalah romanisasi kolonial Belanda.


Djong digunakan terutama sebagai kapal penumpang dan kapal kargo, dapat mencapai Samudra Atlantik pada zaman kuno. Bobot muatan rata-rata adalah 40 sampai 2000 ton mati, dengan bobot mati rata-rata sebesar 1200–1400 ton pada zaman Majapahit. Kerajaan Jawa seperti Majapahit, Kesultanan Demak, dan Kesultanan Kalinyamat menggunakan kapal jenis ini digunakan sebagai kapal perang, tetapi masih dominan sebagai kapal angkut. Kesultanan Mataram biasanya menggunakan jong sebagai kapal dagang bukan kapal perang.


Untuk armada perang mereka, orang Melayu lebih suka menggunakan kapal-kapal panjang dengan sarat air dangkal, berdayung, yang mirip dengan galai; contohnya lancaran, penjajap, dan kelulus. Hal ini sangat berbeda dengan orang Jawa yang lebih menyukai kapal-kapal bundar dengan sarat air yang dalam dan dapat mencapai jarak jauh seperti jong dan malangbang. 


Alasan perbedaan ini adalah karena orang Melayu mengoperasikan kapal mereka di perairan sungai, zona selat terlindung, dan lingkungan kepulauan, sedangkan orang Jawa sering aktif di laut lepas dan berombak tinggi. Setelah pertemuan dengan orang Iberia, baik armada perang orang Jawa maupun Melayu mulai lebih banyak menggunakan ghurab dan ghali.


Jadi baik orang Melayu dan Jawa walaupun sama-sama keturunan Austronesia tapi soal selera desain kapal keduanya punya ciri khas berbeda, namun mempunyai tujuan yang sama.


Kepulauan Nusantara dikenal untuk produksi jung-jung besar. Tatkala pelaut Portugis mencapai perairan Asia Tenggara pada awal tahun 1500-an mereka menemukan kawasan ini didominasi kapal-kapal Jung Jawa. Kapal dagang milik orang Jawa ini menguasai jalur rempah rempah yang sangat vital, antara Maluku, Jawa, dan Malaka. 


Kota pelabuhan Malaka (sekarang bagian dari Malaysia 🇲🇾) pada waktu itu praktis menjadi kota orang Jawa. Di sana banyak saudagar dan nakhoda kapal Jawa yang menetap, dan sekaligus mengendalikan perdagangan internasional. Banyak tukang-tukang kayu Jawa yang terampil membangun galangan kapal di kota pelabuhan terbesar di Asia Tenggara itu. Bukti kepiawaian orang Jawa dalam bidang perkapalan juga ditemukan pada relief Candi Borobudur yang memvisualkan perahu bercadik—belakangan disebut sebagai "Kapal Borobudur".


Selama era Majapahit, hampir semua komoditas dari Asia ditemukan di Jawa. Ini dikarenakan perdagangan laut ekstensif yang dilakukan oleh kerajaan Majapahit yang menggunakan berbagai jenis kapal, terutamanya jong, untuk berdagang ke tempat-tempat yang jauh.


Ma Huan (penerjemah Cheng Ho) yang mengunjungi Jawa pada 1413, menyatakan bahwa pelabuhan di Jawa memperdagangkan barang dan menawarkan layanan yang lebih banyak dan lebih lengkap daripada pelabuhan lain di Asia Tenggara. Juga pada era Majapahit penjelajahan orang-orang Nusantara mencapai prestasi terbesarnya. Ludovico di Varthema (1470–1517), dalam bukunya Itinerario de Ludouico de Varthema Bolognese menyatakan bahwa orang Jawa selatan berlayar ke "negeri jauh di selatan" hingga mereka tiba di sebuah pulau di mana siang harinya hanya berlangsung selama empat jam dan "lebih dingin daripada di bagian dunia mana pun". Penelitian modern telah menentukan bahwa tempat tersebut terletak setidaknya 900 mil laut (1666 km) selatan dari titik paling selatan Tasmania.


Artinya orang Jawa jaman dulu bahkan pernah berlayar sangat jauh hingga ke Pulau Tasmania (Australia 🇦🇺) yang jaraknya sangat jauh dari Nusantara, bisa dibayangkan hebatnya teknologi pelayaran orang Jawa.


Pada zaman Majapahit, kompas dan magnet telah digunakan, selain itu kartografi (ilmu pemetaan) telah berkembang. Pada tahun 1293 Raden Wijaya memberikan sebuah peta dan catatan sensus penduduk pada pasukan Mongol dinasti Yuan, menunjukkan bahwa pembuatan peta telah menjadi bagian formal dari urusan pemerintahan di Jawa. Penggunaan peta yang penuh garis-garis memanjang dan melintang, garis rhumb, dan garis rute langsung yang dilalui kapal dicatat oleh orang Eropa, sampai-sampai orang Portugis menilai peta Jawa merupakan peta terbaik pada awal tahun 1500-an.


Ketika Afonso de Albuquerque menaklukkan Malaka (1511), orang Portugis mendapatkan sebuah peta dari seorang mualim Jawa, yang juga menampilkan bagian dari benua Amerika. Mengenai peta itu, Albuquerque berkata:


... um grande mapa de um navegador javanês, contendo o Cabo da Boa Esperança, Portugal e as terras do Brasil, o Mar Vermelho e o Mar Persa, as ilhas Clove, a navegação dos Chineses e Gore, com linhas de rumo e directas rotas que podem ser percorridas por navios, e a planície de Gigir (interior), e como os reinos faziam fronteira entre si. Para mim, senhor, esta é a melhor coisa que já vi, e Vossa Majestade ficaria muito satisfeito por ver que tem nomes na escrita javanesa, mas tenho um javanês que sabe ler e escrever, enviei este trabalho para Vossa Majestade, que Francisco traçou Rodrigues de outro, onde Vossa Majestade pode realmente ver de onde vêm os chineses e os Gore (japoneses), e claro que os seus navios devem ir para as ilhas Cengkih, e onde estão as minas de ouro, e as ilhas de Java e Banda, a origem noz-moscada e macis, e a terra do rei do Sião, e também o fim da navegação chinesa, a direção em que viajou e como não navegaram mais.


Artinya:


... peta besar seorang mualim Jawa, yang berisi Tanjung Harapan, Portugal dan tanah Brazil, Laut Merah dan Laut Persia, Kepulauan Cengkih, navigasi orang Cina dan Gore, dengan garis rhumb dan rute langsung yang bisa ditempuh oleh kapal, dan dataran gigir (hinterland), dan bagaimana kerajaan berbatasan satu sama lain. Bagiku, Tuan, ini adalah hal terbaik yang pernah saya lihat, dan Yang Mulia akan sangat senang melihatnya memiliki nama-nama dalam tulisan Jawa, tetapi saya punya seorang Jawa yang bisa membaca dan menulis, saya mengirimkan karya ini kepada Yang Mulia, yang ditelusuri Francisco Rodrigues dari yang lain, di mana Yang Mulia dapat benar-benar melihat di mana orang Cina dan Gore (Jepang) datang, dan tentu saja kapal Anda harus pergi ke Kepulauan Cengkih, dan di mana tambang emas ada, dan pulau Jawa dan Banda, asal pala dan fuli pala, dan tanah raja Siam, dan juga akhir dari navigasi orang Cina, arah yang dilaluinya, dan bagaimana mereka tidak bernavigasi lebih jauh.


— Surat Albuquerque untuk raja Manuel I dari Portugal, 1 April 1512.


Sebuah catatan Portugis menggambarkan bagaimana orang Jawa sudah memiliki keterampilan pelayaran tingkat lanjut dan pernah berkomunikasi dengan Madagaskar pada tahun 1645:


Orang Jawa adalah orang-orang yang sangat berpengalaman dalam seni navigasi, sampai mereka dianggap sebagai perintis seni paling kuno ini, walaupun banyak yang menunjukkan bahwa orang Cina lebih berhak atas penghargaan ini, dan menegaskan bahwa seni ini diteruskan dari mereka kepada orang Jawa. Tetapi yang pasti adalah orang Jawa dulunya berlayar ke Tanjung Harapan dan mengadakan hubungan dengan pulau São Lourenço (San Laurenzo — Madagaskar), dimana sekarang banyak dijumpai penduduk asli berkulit cokelat di pulau itu yang mirip orang Jawa yang mengatakan bahwa mereka adalah keturunan orang Jawa.


— Diogo do Couto, Decada Quarta da Asia


Penelitian pada tahun 2016 menunjukkan bahwa orang Malagasi 🇲🇬 memiliki hubungan genetik dengan berbagai kelompok etnis Nusantara, terutama dari Kalimantan bagian selatan. Bagian-bagian dari bahasa Malagasi bersumber dari bahasa Ma'anyan dengan kata pinjaman dari bahasa Sanskerta, dengan semua modifikasi linguistik lokal melalui bahasa Jawa atau Melayu. Orang Ma'anyan dan Dayak bukanlah seorang pelaut dan merupakan penggarap sawah kering sedangkan sebagian orang Malagasi adalah petani sawah basah, sehingga kemungkinan besar mereka dibawa oleh orang Jawa dan Melayu dalam armada dagangnya, sebagai buruh atau budak.


Kegiatan perdagangan dan perbudakan Jawa di Afrika menyebabkan pengaruh yang kuat pada pembuatan perahu di Madagaskar dan pantai Afrika Timur. Hal ini ditunjukkan dengan adanya cadik dan oculi (hiasan mata) pada perahu-perahu Afrika.


3. Migrasi orang Jawa di luar Jawa (sebelum era transmigrasi)


Meskipun pada abad ke-16 orang Melayu di Malaka memiliki jong, jong-jong itu tidak dibangun oleh orang Melayu atau oleh Kesultanan Malaka. Malaka hanya memproduksi kapal kecil, bukan kapal besar. Industri pembuatan kapal besar tidak ada di Malaka — industri mereka tidak mampu memproduksi kapal laut dalam; hanya perahu kecil, ringan, dan dapat berlayar cepat. Orang-orang Malaka membeli kapal besar (jong) dari daerah lain di Asia Tenggara, yakni dari Jawa dan Pegu, mereka tidak memproduksinya.


Kerajaan Majapahit menggunakan jong secara besar-besaran sebagai kekuatan lautnya. Tidak diketahui berapa tepatnya jumlah total jong yang digunakan oleh Majapahit, tetapi jumlah terbesar jong yang dikerahkan dalam sebuah ekspedisi adalah sekitar 400 jong yang disertai dengan malangbang dan kelulus yang tak terhitung banyaknya, yakni ketika Majapahit menyerang Pasai. Ekspedisi militer terbesar kedua, invasi Singapura pada tahun 1398, Majapahit mengerahkan 300 jong dengan tidak kurang dari 200.000 orang (lebih dari 600 orang di setiap jong).


Menurut Pramoedya Ananta Toer, kapal Majapahit yang besar dapat membawa 800–1000 orang dan panjangnya mencapai 50 depa (sekitar 80–100 m). Perhitungan modern berkesimpulan bahwa jong yang umum digunakan oleh Majapahit rata-ratanya dapat membawa 600–700 orang, berbobot mati 1200–1400 ton dan bobot benaman 3333–3889 ton, dengan panjang keseluruhan sekitar 76,18–79,81 m dan panjang dek 69,26–72,55 m. Yang terbesar, membawa 1000 orang, berbobot mati 2000 ton dan bobot benaman 5556 ton, dengan panjang keseluruhan sekitar 88,56 m dan panjang dek 80,51 m.


Sebuah jong Bali yang digunakan oleh Bujangga Manik untuk melakukan perjalanan dari Bali ke Blambangan memiliki lebar 8 depa (12,8–16 m) dan panjang 25 depa (40–50 m). Di antara jong terkecil yang tercatat, yang digunakan oleh Chen Yanxiang untuk mengunjungi Korea, panjangnya 33 meter dengan perkiraan kapasitas 220 ton bobot mati, dengan awak 121 orang.


Interaksi antara orang Jawa dan penduduk Nusantara lainnya sudah terjadi sejak zaman Hindu Buddha, Rudra Wikrama (Raja Sriwijaya ke 6) diyakini telah ditaklukkan oleh Rakai Panangkaran dari Jawa sehingga dijuluki sebagai Permata Dinasti Sailendra dalam Prasasti Kalasan. Setelah itu, Sriwijaya secara de jure menjadi daerah taklukkan Medang dan diperintah dari Dataran Kedu di Jawa Tengah. Sriwijaya kembali menjadi negara mandiri setelah dimerdekakan oleh Balaputradewa yang dalam Prasasti Nalanda menyebut dirinya sebagai Cucu Raja Jawa. Tidak diketahui nasib dinasti keturunan Sri Jayanasa setelah Sriwijaya dikuasai Rakai Panangkaran dari Jawa.


Itu artinya sejak era Maharaja ke 6, Kerajaan Sriwijaya telah dikuasai keluarga keturunan Jawa sejak saat itu. Balaputradewa yang dianggap sebagai raja Sriwijaya paling terkenal pun menunjukkan sisi historisnya sebagai orang Jawa sejati, Menurut prasasti Nalanda, Balaputradewa adalah cucu seorang raja Jawa yang dijuluki Wirawairimathana (penumpas musuh perwira) merupakan maharaja ke 11 Sriwijaya yang mempunyai hubungan erat dengan wangsa Syailendra di Jawa Tengah. Julukan kakeknya ini mirip dengan Wairiwarawimardana alias Dharanindra dalam prasasti Kelurak. Dengan kata lain, Balaputradewa merupakan cucu Dharanindra.


Ayah Balaputradewa bernama Samaragrawira, sedangkan ibunya bernama Dewi Tara putri Sri Dharmasetu dari Wangsa Soma. Prasasti Nalanda sendiri menunjukkan adanya persahabatan antara Balaputradewa dengan Dewapaladewa raja dari India, yaitu dengan ditandai pembangunan wihara yang diprakarsai oleh Balaputradewa di wilayah Benggala.


Keturunan Sriwijaya yang pada akhirnya memeluk Islam mendirikan Kesultanan Palembang yang diharapkan menjadi penerus Kerajaan Sriwijaya, Susuhunan Abdurrahman (1659-1704), adalah Sultan Palembang pertama antara tahun 1659-1704. Ia merupakan putra Pangeran Seda ing Pasarean dan Ratu Mas Amangkurat yang berasal dari Jawa Tengah. Ia berkuasa di Palembang setelah mengusir pendudukan VOC menggantikan kakaknya Pangeran Sedo ing Rejek.


Ibunya bernama Masayu Adi Wijaya Ratu Mas Mangkurat binti Kemas Panji Wira Singa bin Ki Tumenggung Banyu bin Ki Gede ing Mempelam bin Ki Gede ing Sungi Surabaya. Ia dilahirkan sekitar tahun 1630 di lingkungan Keraton Kuto Gawang Palembang Lamo (1 ilir), dan merupakan putera ke 4 dari 13 bersaudara. Saudaranya yang tertua ialah Pangeran Ratu Sido Ing Rajek yang menjadi raja menggantikan ayahnya dan wafat di Indra Laya.


Pendidikan awalnya didapat dari ayahnya sendiri, dan berguru kepada ulama-ulama besar pada waktu itu di antaranya: Sayid Mustofa Assegaf bin Sayid Ahmad Kiayi Pati, Kemas M.Asyik bin Kemas Ahmad, Sayid Syarif Ismail Jamalullail dan lain-lain.


Karena pengaruh Jawa yang cukup kuat di Sumatera Selatan membuat bahasa Melayu logat Palembang mempunyai banyak sekali serapan bahasa Jawa di dalamnya, Satu sumber tertulis adalah Kitab Undang-Undang Simbur Cahaya, yang penyusunannya dianggap dilakukan oleh Ratu Sinuhun, istri dari penguasa Palembang Pangeran Sido ing Kenayan pada sekitar abad ke-17. Kitab ini ditulis dalam bahasa Melayu Klasik dengan sedikit pengaruh bahasa Jawa, mengingat keluarga bangsawan Palembang berasal dari Jawa. Pengaruh Jawa di Palembang dimulai setidaknya sejak abad ke-14.


William Marsden mencatat dua ragam bahasa berbeda yang digunakan di Palembang pada abad ke-18. Bahasa di keraton adalah dialek Jawa halus dan Melayu dengan campuran kosakata asing, sementara bahasa sehari-hari penduduk Palembang adalah dialek Melayu, dengan ciri utama pengucapan vokal 'a' yang diganti menjadi 'o' pada sebagian besar suku kata terbuka.


Bahkan kota dan kabupaten di Sumatera Selatan mempunyai nama yang khas dengan bahasa Jawa, seperti Kabupaten Musi Banyuasin. Banyuasin dalam bahasa Jawa artinya Air Asin, ada Kabupaten Empat Lawang dimana Lawang dalam bahasa Jawa artinya Pintu.


Ada kota Prabumulih, dalam bahasa Jawa kata Prabu merujuk pada gelar bangsawan tertinggi di Jawa sedangkan kata Mulih berarti Pulang. Pengaruh Jawa juga dirasakan di pulau Dewata, mayoritas penduduk Bali modern adalah keturunan orang-orang Jawa era Majapahit.


Mereka bermigrasi secara besar-besaran ke Bali dalam 2 fase yakni saat Gajah Mada berhasil menaklukkan Bali dan menjadikan Bali sebagai tanah kedua orang-orang Jawa Majapahit, lalu kedua saat pengaruh majaoa di Jawa Timur semakin luntur akibat perkembangan Islam sehingga banyak dari keturunan Jawa Majapahit yang masih bertahan menyingkir ke Tengger, Banyuwangi, dan Bali. Penduduk Bali yang asli yakni orang Bali Aga semakin terdesak dengan kehadiran orang-orang Bali modern yang semakin banyak populasinya, budaya Bali juga mempunyai kemiripan dengan di Jawa.


Gamelan merupakan bentuk seni musik yang vital dalam berbagai acara tradisional masyarakat Bali. Setiap jenis musik disesuaikan dengan acaranya. Musik untuk piodalan (hari jadi) berbeda dengan musik pengiring acara metatah (mengasah gigi), demikian pula pernikahan, ngaben, melasti, dan sebagainya. Gamelan yang beraneka ragam pun disesuaikan dengan berbagai jenis tari yang ada di Bali. Menurut Spies, seni tari membuat utuh kehidupan masyarakat Bali sekaligus menjadi elemen penting dalam serangkaian upacara adat maupun pribadi yang tidak ada habisnya.


Sebagaimana di Jawa, suku Bali juga mengenal pertunjukan wayang, tetapi dengan bentuk wayang yang lebih menyerupai manusia daripada wayang khas Jawa. Suku Bali juga memiliki aspek-aspek unik yang terkait dengan tradisi religius mereka. Kehidupan religius mereka merupakan sinkretisme antara agama Hindu-Buddha dengan tradisi Bali.


Orang-orang Jawa juga mempunyai pengaruh di Nusa Tenggara Barat di era perkembangan Islam di Jawa, Dalam Babad Lombok, terdapat ekspedisi untuk menaklukkan wilayah Nusa Tenggara. Ekspedisi ini dipimpin Sunan Prapen (penguasa Giri Kedaton salah satu keraton independen yang didirikan Sunan Gunung Jati, pemimpin Walisongo) yang berangkat bersama para mubalig dan armadanya didukung puluhan kapal dengan 10 ribu pasukan berasal dari daerah di pulau Jawa seperti Mataram, Majalengka, Madura, Sumenep, Surabaya, Semarang, Gresik, Besuki Gembong, Candi, Betawi dan lainnya. Mereka dipimpin pemukanya seperti Arya Majalengka, Ratu Madura dan Sumenep, Adipati Surabaya, Adipati Semarang, Patih Ki Jaya Lengkara, dan Raden Kusuma Betawi.


Dari Mataram sendiri dipimpin seseorang yang disebut Patih Mentaram. Di Lombok, setelah mengislamkan raja Lombok Prabu Rangkesari, dengan berbasis di kotaraja Lombok di teluk Lombok, ekspedisi dipecah-pecah menjadi rombongan yang dikirim ke seluruh penjuru pulau Lombok. Salah satu peran penting patih Mataram mendapat tugas menaklukkan semua orang di utara gunung dari Samulya (saat ini Sambelia). Orang-orang Jawa dan Madura yang sudah bermigrasi ke pulau Lombok sebagian berakulturasi budaya dengan penduduk asli Sasak, sebagian lagi tetap mempertahankan identitasnya sebagai orang Jawa bahkan mendirikan kampung-kampung Jawa di Pulau Lombok.


Pengaruh Jawa juga terdapat di Kalimantan Timur di era Kesultanan Kutai Martadipura jauh sebelum orang-orang Jawa era Transmigrasi datang sudah ada orang-orang Jawa yang menjadi penguasa di Kalimantan, Kerajaan Kutai Kertanegara berdiri pada awal abad ke-13 di daerah yang bernama Jaitan Layar atau Kutai Lama (kini menjadi sebuah desa di wilayah Kecamatan Anggana) dengan rajanya yang pertama yakni Aji Batara Agung Dewa Sakti (1300-1325). Kerajaan ini disebut dengan nama Kute dalam Kakawin Nagarakretagama (1365), yaitu salah satu daerah taklukan di negara bagian Pulau Tanjungnagara oleh Patih Gajah Mada dari Majapahit.


Aji Batara Agung Dewa Sakti adalah pendiri, sekaligus Maharaja dari Kerajaan Kutai Kartanegara yang memerintah dari tahun 1300 hingga 1325. Ia merupakan putera dari Patinggi Jahitan-Laya. Jahitan Layar sendiri merupakan koloni dari Pulau Jawa.


Ia mendirikan kerajaannya di daerah yang bernama Tepian Batu atau Kutai Lama (kini menjadi sebuah desa di wilayah Kecamatan Anggana, Kutai Kartanegara). Nama daerah ini dinamakan Nusentara artinya "tanah yang terpotong", karena lokasinya diantara Jahitan Layar dan Kutai Lama.


Pada abad ke-16, Kerajaan Kutai Kertanegara di bawah pimpinan raja Aji Pangeran Sinum Panji Mendapa berhasil menaklukkan Kerajaan Kutai Kuno (atau disebut pula Kerajaan Kutai Martapura) yang terletak di Muara Kaman. Raja Kutai Kertanegara pun kemudian menamakan kerajaannya menjadi Kerajaan Kutai Kertanegara ing Martapura sebagai peleburan antara dua kerajaan tersebut.


Menurut Hikayat Banjar dan Kotawaringin (1663), negeri Kutai merupakan salah satu tanah di atas angin (sebelah utara) yang mengirim upeti kepada Maharaja Suryanata, raja Banjar-Hindu (Negara Dipa) pada abad ke-14 hingga kerajaan ini digantikan oleh Kesultanan Banjar. Sekitar tahun 1620 Kutai berada di bawah pengaruh Kesultanan Makassar. 


Perjanjian VOC dan Kesultanan Banjar tahun 1635 menyebutkan VOC membantu Banjar untuk menaklukan Paser dan Kutai kembali. Dengan demikian sejak tahun 1636, Kutai diklaim oleh Kesultanan Banjar sebagai salah satu vasalnya karena Banjarmasin sudah memiliki kekuatan militer yang memadai untuk menghadapi serangan Kesultanan Mataram yang berambisi menaklukan seluruh Kalimantan dan sudah menduduki wilayah Sukadana (1622). Sebelumnya Banjarmasin merupakan vasal Kesultanan Demak (penerus Majapahit), tetapi semenjak runtuhnya Demak (1548), Banjarmasin tidak lagi mengirim upeti kepada pemerintahan di Jawa.


Di sisi lain orang-orang Banjar sendiri adalah keturunan campuran dari suku Dayak, Melayu, dan Jawa yang membentuk sebuah etnis, budaya, dan bahasa yang baru yakni Banjar. Dirunut dari genealoginya, masyarakat etnis Banjar pada zaman dahulu merupakan satu kesatuan entitas yang sama dengan masyarakat Dayak lainnya di sekitar wilayah Pegunungan Meratus (khususnya dengan etnis Bukit atau kerap dikenali sebagai Dayak Meratus). Penelitian arkeologi pada zaman modern di kawasan Geopark Meratus mengungkapkan bahwa wilayah ini telah dihuni oleh manusia purba sejak zaman masa prasejarah.


Artinya nenek moyang orang Banjar awalnya juga orang Dayak sebelum era pra Majapahit dan pra Islam, namun semua berubah semenjak Majapahit melakukan invasi ke pesisir selatan Kalimantan dan mendirikan kerajaan cabang yakni Negara Dipa.


Kerajaan Negara Dipa merupakan sebuah sebutan lokal oleh masyarakat etnis Banjar yang merujuk kepada suatu entitas kerajaan yang merupakan cikal bakal dinasti raja-raja Banjar yang didirikan seorang tokoh yang bernama Ampu Jatmaka, dianggap sebagai sumber sivilisasi atau peradaban yang memiliki pengaruh dominan bagi masyarakat Banjar. Namun kerajaan ini bukan kerajaan pertama di Tanah Banjar. 


Tutur lokal yang disebut Tutur Candi menyebut nama Kerajaan Kuripan dan Tanjungpuri yang terletak dilembah sungai Tabalong sebagai kerajaan orang-orang Banjar kuno (Pahuluan), sebagai pendahulu Kerajaan Negara Dipa yang dipengaruhi budaya Jawa tersebut. Kedua kerajaan ini bertetangga dengan komunitas "Dayak" Nan Sarunai.


Kerajaan ini ditengarai merupakan sebuah cabang atau vassal state dari kerajaan utamanya di pulau Jawa; yakni kerajaan Banjar Negara. Kata dipa itu sendiri diserap dari istilah dwipa dalam bahasa Jawa yang memiliki arti "pulau", merujuk kepada Banjar Negara itu sendiri yang terletak di pulau Jawa.


Dari sinilah dimulai pembentukan identitas Banjar di era Majapahit, lalu berkembang pesat di masa Islam dan membentuk etnis Banjar yang kita kenal sampai sekarang. Sebenarnya masih banyak migrasi, komunitas dan pengaruh orang Jawa di berbagai daerah sebelum era transmigrasi seperti Lampung, Banten, Kalimantan Barat, dll.


4. Era transmigrasi 


Transmigrasi (dari bahasa Belanda: transmigratie) adalah suatu program yang dibuat oleh pemerintah Indonesia untuk memindahkan penduduk dari suatu daerah yang padat penduduk (kota) ke daerah lain (desa) di dalam wilayah Indonesia. Penduduk yang melakukan transmigrasi disebut Transmigran. Era Transmigrasi sendiri terbagi ke dalam 2 era yakni era Hindia Belanda dan era kemerdekaan, di era Transmigrasi inilah orang-orang Jawa semakin banyak menyebar ke berbagai pulau di Indonesia.


Pemerintah kolonial Belanda merintis kebijakan ini pada awal abad ke-19 untuk mengurangi kepadatan pulau Jawa dan memasok tenaga kerja untuk perkebunan di pulau Sumatra. Program ini perlahan memudar pada tahun-tahun terakhir masa penjajahan Belanda (1940-an), lalu dijalankan kembali setelah Indonesia merdeka untuk menangkal kelangkaan pangan dan bobroknya ekonomi pada masa pemerintahan Soekarno dua puluh tahun setelah Perang Dunia II.


Pada tahun puncaknya, 1929, lebih dari 260.000 pekerja kontrak Cultuurstelsel dibawa ke pesisir timur Sumatra, 235.000 orang di antaranya berasal dari pulau Jawa. Para pendatang bekerja sebagai kuli; apabila seorang pekerja meminta kontraknya diputus oleh perusahaan (desersi), ia akan dihukum kerja paksa. Tingkat kematian dan penyiksaan di kalangan kuli saat itu sangat tinggi.


Setelah kemerdekaan Indonesia diakui oleh Belanda tahun 1949 di bawah pemerintahan Soekarno, program transmigrasi dilanjutkan dan diperluas cakupannya sampai Papua. Pada puncaknya antara tahun 1979 dan 1984, 535.000 keluarga (hampir 2,5 juta jiwa) pindah tempat tinggal melalui program transmigrasi. Dampak demografisnya sangat besar di sejumlah daerah; misalnya, pada tahun 1981, 60% dari 3 juta penduduk provinsi Lampung adalah transmigran. Pada tahun 1980-an, program ini didanai oleh Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia serta negara-negara Barat yang memuji kebijakan anti-komunis Soeharto. Akibat krisis energi 1979 dan peningkatan biaya transportasi, anggaran dan rencana transmigrasi dipotong.


Pada bulan Agustus 2000 setelah krisis keuangan Asia dan jatuhnya rezim Soeharto, pemerintah Indonesia mulai mengurangi skala program transmigrasi karena sedikitnya anggaran.


Pemerintah Indonesia mengurus program transmigrasi lewat Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi meski skalanya lebih kecil daripada tahun-tahun sebelumnya. Departemen ini setiap tahunnya memindahkan 15.000 keluarga atau hampir 60.000 orang. Jumlah ini perlahan meningkat seiring bertambahnya anggaran transmigrasi (Rp2,3 triliun) dan target pemindahan (20.500 keluarga) pada tahun 2006.


Transmigrasi dari Jawa dan Madura membuat jumlah penduduk di daerah lain meledak, terutama di Sumatra, Kalimantan, dan Papua. Berdasarkan sensus 2010, sekitar 4,3 juta transmigran dan keturunannya hidup di Sumatera Utara, 200.000 di Sumatera Barat, 1,4 juta di Riau, dan hampir 1 juta di Jambi, 2,2 juta di Sumatera Selatan, 400.000 di Bengkulu, 5,7 juta di Lampung, 100.000 di Bangka-Belitung, dan hampir 400.000 di Kepulauan Riau, dengan jumlah total 15,5 juta jiwa di pulau Sumatra. 


Di Kalimantan, terdapat kurang lebih 700.000 transmigran dan keturunannya di Kalimantan Barat, 400.000 di Kalimantan Tengah, 500.000 di Kalimantan Selatan, dan lebih dari 1 juta di Kalimantan Timur, dengan total 2,6 juta di seluruh pulau Kalimantan.[butuh rujukan] Meski angka resminya dirahasiakan oleh pemerintah, lebih dari satu juga transmigran diperkirakan menetap di Papua dan Papua Barat. Jumlah transmigran di seluruh Indonesia mencapai 20 juta jiwa.


Transmigran tidak selalu dari Jawa dan/atau beragama Islam. Pada tahun 1994, ketika Timor Timur masih bagian dari Indonesia, kelompok transmigran terbesar justru orang Bali yang beragama Hindu (1.634 jiwa) dan orang Jawa beragama Katolik (1.212 jiwa).


5. Kesimpulan 


Migrasi orang-orang Jawa di Indonesia terjadi dalam 2 fase yaitu fase pra Transmigrasi atau era kerajaan dan pelayaran, dan fase kedua adalah era transmigrasi dimana jumlah penduduk Jawa di luar pulau semakin membludak. Bahkan tanpa adanya program transmigrasi orang-orang Jawa tetap melakukan migrasi di berbagai tempat, karena orang Jawa pada dasarnya dikenal sebagai pekerja keras dan suka merantau seperti halnya orang Minang.


Selain itu kondisi politik pulau Jawa yang tak stabil di masa lalu membuat orang-orang Jawa terpaksa mencari tempat pengundian nasib yang lebih baik, seperti halnya migrasi orang Cina ke berbagai negara akibat kondisi politik di cina tidak stabil. Kelebihan lain orang Jawa adalah mereka mudah beradaptasi dengan lingkungan yang baru dan menghormati adat penduduk asli, sehingga orang-orang Jawa diterima di banyak tempat dan tidak ada perang dan konflik yang melibatkan pendatang dari Jawa dengan penduduk setempat.


Bahkan orang-orang Jawa sebagian menikah dengan penduduk lain, sehingga tak jarang banyak orang Indonesia yang memang bukan orang Jawa namun ia mempunyai sedikit darah dan DNA Jawa dari keluarga.


© Indonesia 2045 || Cityscape, Wonderful Indonesia - #IndonesiaEmas2045


-sc : fb indonesia 2045
































Tidak ada komentar:

Posting Komentar

DIRE WOLF 13.000 YEARS AGOS LIFE AGAIN

 Dire wolf, spesies serigala purba yang terkenal lewat serial Game of Thrones, berhasil "dihidupkan kembali" oleh perusahaan biote...