Wikipedia

Hasil penelusuran

Senin, 06 Mei 2024

Metoda Pengairan Tanaman Jagung

 

PENGELOLAAN AIR DALAM BUDIDAYA JAGUNG

PENGELOLAAN AIR DALAM BUDIDAYA JAGUNG

Kegiatan budidaya jagung di Indonesia hingga saat ini sebagian besar masih bergantung pada air hujan, maka untuk mensiasati hal tersebut, pengelolaan air harus diusahakan secara optimal, yaitu tepat waktu, tepat jumlah, dan tepat sasaran, sehingga efisien dalam upaya peningkatan produktivitas maupun perluasan areal tanam dan peningkatan intensitas pertanaman. Selain itu, antisipasi kekeringan tanaman akibat ketidak cukupan pasokan air hujan perlu disiasati dengan berbagai upaya, antara lain pompanisasi.

Jagung merupakan tanaman dengan tingkat penggunaan air sedang, berkisar antara 400-500 mm (FAO 2001). Namun demikian, budidaya jagung terkendala oleh tidak tersedianya air dalam jumlah dan waktu yang tepat. Khusus pada lahan sawah tadah hujan dataran rendah, masih tersisanya lengas tanah dalam jumlah yang berlebihan akan mengganggu pertumbuhan tanaman. Sementara itu, penundaan waktu tanam akan menyebabkan terjadinya cekaman kekurangan air pada fase pertumbuhan sampai pembentukan biji. Oleh karena itu, dibutuhkan teknologi pengelolaan air bagi tanaman jagung.

Sasaran dari pengelolaan air adalah tercapainya empat tujuan pokok, yaitu: (1) efisiensi penggunaan air dan produksi tanaman yang tinggi, (2) efisiensi biaya penggunaan air, (3) pemerataan penggunaan air atas dasar sifat keberadaan air yang selalu ada tapi terbatas dan tidak menentu kejadian serta jumlahnya dan (4) tercapainya keberlanjutan sistem penggunaan sumberdaya air yang hemat lingkungan. Dalam hubungannya dengan pengelolaan air untuk tanaman jagung yang banyak dibudidayakan di lahan kering dan tadah hujan, pengelolaan air penting untuk diperhatikan.

Pola Tanam Berdasarkan Tingkat Ketersediaan Air

Budidaya jagung umumnya dilakukan pada lahan kering dan lahan sawah. Tipe lahan dibedakan menjadi lahan kering beriklim kering, lahan kering beriklim basah, lahan tadah hujan, dan lahan sawah irigasi. Masing-masing tipe lahan tersebut menggambarkan pola tanam jagung sesuai dengan ketersediaan air yang mencirikan tipe lahannya.

Berdasarkan peluang kejadian hujan, pola tanam jagung umumnya adalah:

-Lahan kering beriklim kering : jagung - bera - bera jagung - jagung - bera

-Lahan kering beriklim basah : jagung - jagung - jagung- jagung - jagung - bera

-Lahan tadah hujan : padi - bera - bera padi - jagung - bera

-Lahan sawah irigasi : padi - padi - jagung- padi - jagung - jagung

Pada lahan kering beriklim kering dataran rendah, pola tanam jagung- jagung-bera dapat diterapkan apabila terdapat jaminan tambahan air irigasi melalui air tanah dangkal. Drainase lahan diperlukan untuk mempercepat waktu tanam jagung setelah panen padi. Untuk pola tanam padi-jagung-jagung pada lahan sawah tadah hujan, selain drainase juga diperlukan tambahan irigasi dari sumber air tanah dangkal atau air permukaan (Prabowo et al. 1996).

Hubungan Jumlah Pemberian Air dengan Hasil Jagung

Ketepatan pemberian air sesuai dengan tingkat pertumbuhan tanaman jagung sangat berpengaruh terhadap produksi. Periode pertumbuhan tanaman yang membutuhkan adanya pengairan dibagi menjadi lima fase; yaitu fase pertumbuhan awal (selama 15-25 hari), fase vegetatif (25-40 hari), fase pembungaan (15-20 hari), fase pengisian biji (35-45 hari) dan fase pematangan (10-25 hari).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tanaman jagung lebih toleran terhadap kekurangan air pada fase vegetatif (fase 1) dan fase pematangan/masak (fase 4). Penurunan hasil terbesar terjadi apabila tanaman mengalami kekurangan air pada fase pembungaan, bunga jantan dan bunga betina muncul, dan pada saat terjadi proses penyerbukan (fase 2). Penurunan hasil tersebut disebabkan oleh kekurangan air yang mengakibatkan terhambatnya proses pengisian biji karena bunga betina/tongkol mengering, sehingga jumlah biji dalam tongkol berkurang. Hal ini tidak terjadi apabila kekurangan air terjadi pada fase vegetatif. Kekurangan air pada fase pengisian/pembentukan biji (fase 3) juga dapat menurunkan hasil secara nyata akibat mengecilnya ukuran biji. Kekurangan air pada fase pemasakan/pematangan (fase 4) sangat kecil pengaruhnya terhadap hasil tanaman.

Kebutuhan Air Tanaman

Dalam perencanaan pengairan, yang perlu mendapat perhatian adalah kebutuhan air/evapotranspirasi tanaman. Evapotranspirasi tanaman dapat dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu evapotranspirasi potensial (ETP) dan evapotranspirasi aktual (ETA). Evapotranspirasi Potensial merupakan jumlah air yang ditranspirasikan dalam satuan unit waktu oleh tanaman. ETP dapat diinterpretasikan sebagai kehilangan air oleh tanaman yang diakibatkan oleh faktor klimatologis.

Evapotranspirasi Aktual (ETA) merupakan tebal air yang dibutuhkan untuk mengganti sejumlah air yang hilang melalui evapotranspirasi pada tanaman yang sehat. Nilai ETA adalah nilai kebutuhan air yang harus diberikan ke tanaman, atau merupakan dasar dalam penentuan kebutuhan air bagi tanaman di lapang.

Pemberian Air di Pertanaman

Pengairan tanaman dalam kondisi air tersedia dalam jumlah yang cukup, setelah dilakukan penanaman, lahan sebaiknya diairi. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga agar perkembangan akar tanaman menjadi baik. Pengairan tanaman dalam kondisi defisit air mempertimbangkan pengaruh besarnya cekaman kekurangan air terhadap pertumbuhan tanaman jagung dan hasil tanaman, diperlukan pengaturan pemberian air secara terencana baik dalam jumlah maupun kedalaman pemberian khususnya pada kondisi kekurangan air.

Dengan memperhitungkan tingkat Evapotranspirasi Potensial (ETP) dalam pemberian air irigasi, perkiraan deplesi air pada fase-fase pertumbuhan tanaman adalah 40% pada fase pertumbuhan awal, antara 55-65% pada fase 1, fase 2 dan fase 3, serta 80% pada fase pemasakan. Dalam kondisi tidak ada hujan dan ketersediaan air irigasi sangat terbatas maka pemberian air bagi tanaman dapat dikurangi dan difokuskan pada periode pembungaan (fase 2) dan pembentukan biji (fase 3). Pemberian air selama fase vegetatif dapat dikurangi. Dengan irigasi yang tepat waktu dan tepat jumlah maka diharapkan akan didapatkan hasil jagung 6-9 t/ha (kadar air 10-13%).

Metode Pemberian Air

Linsley dan Fransini (1986) membagi metode pemberian air bagi tanaman jagung ke dalam lima metode yaitu:

1. model genangan

2. model alur (Furrow)

3. model bawah permukaan ( sub surface)

4. model pancaran ( sprinkler)

5. model tetes (drip)

Di antara model tersebut, pemberian air dengan metode alur (furrow) paling banyak diterapkan dalam budi daya jagung. Dengan metode ini air diberikan melalui alur-alur di sepanjang baris tanaman. Pemberian air dilakukan setelah benih ditanam, kecuali bila tanah dalam keadaan lembab, dibiarkan satu malam dan pada pagi harinya sisa air dibuang.

Sumber : https://tabloidsinartani.com/detail/indeks/mimbar-penyuluhan/2058-pengelolaan-air-dalam-budidaya-jagung

METODE TANAM PADI SALIBU

 

BUDIDAYA PADI TEKNOLOGI SALIBU

BUDIDAYA PADI TEKNOLOGI SALIBU

Budidaya  padi  secara salibu  merupakan  varian  teknologi  budidaya  ratun,  yaitu unggul  setelah  panen  tanaman  utama  yang  tingginya  sekitar  25  cm, dipelihara selama 7-10 hari atau dibiarkan hingga keluar tunas baru.  Apabila  tunas  yang  keluar  kurang  dari  70%  maka  tidak disarankan  untuk  dilakukan  budidaya  salibu.  Jika  tunas  yang tumbuh > 70% maka potong kembali secara seragam hingga ketinggian  3-5  cm,  kemudian  dipelihara  dengan  baik  hingga panen. Beberapa keuntungan dari penerapan budidaya padi salibu adalah hemat tenaga kerja, waktu dan biaya, karena tidak dilakukan pengolahan tanah dan penanaman ulang serta menekan kebiasaan  petani  membakar  jerami  setelah  panen.

Selain itu budidaya  padi  secara salibu  dapat  meningkatkan produktivitas padi per unit area dan per unit waktu, sehingga dapat meningkatkan Indek Pertanaman (IP) dari 2 kali menjadi 3-4 kali  setahun. Bila  dibandingkan  dengan  teknologi  ratun konvensional, salibu mampu menghasilkan jumlah anakan yang  lebih  banyak  dan  seragam,  produktivitas  bisa  mendekati produktivitas tanaman utamanya. Penggunaan varietas berdaya hasil tinggi, tentu  akan  lebih  memotivasi  aktivitas petani,  karena  terjadi peningkatan hasil  yang  nyata.

Beberapa verietas padi dapat ditanam dengan sistem salibu di beberapa lokasi dan mampu berproduksi dengan baik antara lain varietas Cisokan, Inpari 19, Inpari 21, Logawa dan lain-lain.  Menurut Susilawati et al. (2011) varietas  padi  hibrida  dan  padi  tipe  baru  seperti  Hipa  3,  Hipa  4, Hipa 5, Rokan, dan Cimelati terbukti mampu menghasilkan ratun  dengan  baik dan mampu  menghasilkan  tanaman  salibu dengan  baik. 

Catatan Khusus Teknologi Salibu

  • Kondisi lahan subur dengan sistem pengairan yang mudah diatur atau  dikendalikan  secara  swadaya  oleh  kelompok   
  • Jika saat  panen  kondisi  tanah  kurang  basah,  maka  masukkan  air  ke  lahan  segera  setelah  dilakukan  panen  tanaman  utama,  yang  menyisakan  tunggul  tanaman setinggi  25  cm  dari  permukaan  tanah,  untuk  mencapai kondisi kapasitas lapang.
  • Tunggul sisa  panen  dibiarkan  selama  7-10  hari  setelah  panen atau hingga keluar anakan baru, apabila tunas yang keluar  kurang  70%  dari  populasi  maka  tidak  disarankan untuk dilakukan budidaya salibu.
  • Jika tunas  yang  tumbuh  >  70%  dari  populasi  lakukan pemotongan  ulang  tunggul  sisa  panen  secara  seragam dengan   alat   pemotong   hingga   tersisa   3-5 cm   dari permukaan   Perombakan sisa jerami bekas potongan tunggul padi dipercepat menggunakan dekomposer.

 Lahan Tadah Hujan

  • Sebelum tanam  tanaman  utama  dilakukan  pengolahan  tanah secara sempurna dan penambahan  bahan organik sekitar 2-5 ton/ha.
  • Saat panen tanaman utama upayakan kondisi tanah tidak terlalu kering,  jika  kering  maka  lakukan  pemberian  air  segera  setelah  panen  dengan  ketinggian  2-5  cm  untuk  mencapai kondisi kapasitas lapang.
  • Sisa pemotongan   panen   tanaman   utama   sebaiknya  diletakkan  di  sekitar  tanaman  atau  sebagai  penutup  permukaan  tanah  untuk  mempertahankan  kelembaban tanah.
  • Tunggul sisa  panen  dibiarkan  selama  7-10  hari  setelah  panen atau hingga keluar anakan baru, apabila tunas yang keluar  kurang  70%  dari  populasi  maka  tidak  disarankan  untuk dilakukan budidaya salibu.
  • Jika tunas  yang  tumbuh  >  70%  dari  populasi  dilakukan  pemotongan  ulang  tunggul  sisa  panen  secara  seragam  dengan   alat   pemotong   hingga   tersisa   3-5   cm   dari  permukaan tanah.  Perombakan sisa jerami bekas potongan tunggul padi dipercepat menggunakan dekomposer.

 Lahan Pasang Surut

  • Teknologi budidaya padi salibudi lahan pasang surut harus dilakukan kajian  dan  sebaiknya  dipilih  lokasi-lokasi  yang  memiliki tipe luapan A ke B yang tidak tergenangi ketika air pasang.
  • Sistem budidaya padi sistem ratun di lahan pasang surut selama ini banyak dilakukan pada musim tanam periode Oktober – Maret, dan diasumsikan bahwa sistem budidaya salibu juga dapat dilakukan.
  • Tunggul sisa  panen  dibiarkan  selama  7-10  hari  setelah  panen atau hingga keluar anakan baru, apabila tunas yang keluar  kurang  70%  dari  populasi  maka  tidak  disarankan  untuk dilakukan budidaya salibu.
  • Jika tunas  yang  tumbuh  >  70%  dari  populasi  lakukan  pemotongan  ulang  tunggul  sisa  panen  secara  seragam  dengan   alat   pemotong   hingga   tersisa   3-5   cm   dari  permukaan tanah. Perombakan sisa jerami sisa potongan tunggul padi dipercepat menggunakan dekomposer.

Sumber : http://pertanian.magelangkota.go.id/informasi/artikel-pertanian?start=12

BERKEBUN PISANG

 

BUDIDAYA PISANG

BUDIDAYA PISANG

Pisang (Musa paradisiaca) merupakan buah yang paling banyak dikonsumsi masyarakat Indonesia. Rasanya yang manis dengan tekstur yang empuk membuatnya sangat digemari masyarakat. Indonesia adalah negara penghasil buah pisang terbesar di Asia. Produksinya mencapai lebih dari 50% produksi pisang negara-negara Asia dengan lebih dari 200 jenis pisang yang tersebar di Indonesia. Pisang juga bermanfaat untuk kesehatan dan mempunyai manfaat ekonomi. Untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dalam negeri dan memenuhi permintaan ekspor, maka perlu dilakukan pengembangan budidaya pisang yang berkualitas.

Sebelum mengetahui cara budidaya pisang, terlebih dahulu harus diketahui syarat tumbuh tanaman pisang antara lain: 1) Setiap rumpun paling banyak 2-3 pohon; 2) Kemiringan lahan maksimum 45 derajat, lahan harus diteras, penguat teras harus dipelihara dengan baik dan bahan mulsa (sisa dedaunan) dikumpulkan di bawah pohon pisang; 3) Bila kesuburan tanah rendah, dilakukan pemupukan kompos secukupnya atau dengan pupuk buatan. yaitu pupuk ZA 200 g/tanaman/tahun, pupuk TSP 100 g/tanaman/tahun, pupuk KCl 150 g/tanaman/tahun.

Persiapan lahan

Lahan harus bebas dari alang-alang, selanjutnya pembuatan lubang tanaman dengan ukuran 60 x 60 x 50 cm dengan jarak antar lubang tanam 3-4 m. Setiap lubang diisi pupuk kandang atau kompos.

Seleksi dan penanaman bibit

Bibit yang digunakan berasal dari anakan tanaman pisang yang berkualitas  yang dihasilkan dari metode bit (bonggol). Bibit didederkan pada media tanah campur pasir (1:1). Setelah satu minggu, bibit mulai berakar dan dipindahkan ke polybag. Setelah 2 (dua) bulan kemudian bibit siap dipindahkan ke lahan. Bibit ditanam dalam setiap lubang sebanyak 1 bibit. Penanaman bibit sebaiknya dilaksanakan pada awal musim hujan,

Pemupukan

Sebulan setelah ditanam, dipupuk dengan campuran 250 gr ZA, 100 gr DS dan 150 gr ZK per tanaman. Pemupukan tersebut diulang setiap tiga bulan sekali. Pupuk dibenamkan melingkar di sekeliling tanaman.

Penjarangan tanaman

Penjarangan anakan ditujukan untuk menjaga keseimbangan pertumbuhan sehingga tanaman dapat menghasilkan tandan yang lebih besar dan berkualitas baik dengan cara memilih anakan pedang. Untuk anakan kedua yang dipelihara berasal dari anakan pertama, dan anakan ketiga berasal dari anakan kedua. Pemeliharaan anakan sebaiknya dimulai setelah induknya berumur 4-6 bulan. Pemeliharaan tanaman induk dengan ketiga anakannya sebaiknya merupakan bentuk melingkar.

Pemotongan jantung pisang

Setelah bunga terakhir pada jantung mekar yang ditandai dengan pertumbuhan buah yang kecil-kecil dan lambat, sisa jantung segera dipotong. Pemotongan jantung tersebut dapat meningkatkan produksi buah sekitar  2-5%.

Pemeliharaan

Penyakit layu pada pisang terdiri dari penyakit layu fusarium dan penyakit layu bakteri. Penyakit layu fusarium disebabkan oleh jamur Fusarium oxysparum. Jamur penyebab penyakit ini hidup di dalam tanah, kemudian masuk ke akar, selanjutnya masuk ke bonggol dan jaringan pembuluh. Gejala penyakit ini, yakni sepanjang jaringan pembuluh pada batang semu berwarna coklat kemerahan. Selain itu, daun akan menguning dan menjadi layu, tangkainya menjadi terkulai dan patah, lapisan luar batang semu terbelah dari bawah ke atas. Ciri khasnya ialah jika pangkal batang dibelah membujur, terlihat garis-garis coklat atau hitam dari bonggol ke atas melalui jaringan pembuluh ke pangkal dan tangkai daun.

Penularan penyakit ini melalui bibit, tanah, dan air yang mengalir mengandung spora jamur. Penyakit layu bakteri disebabkan oleh bakteri Pseudomonas solanacearum.

Bisa juga disebut penyakit dara karena bila akar tinggal/bonggol tanaman sakit dipotong maka keluar cairan kental yang berwarna kemerahan..

Penularan penyakit ini dapat terjadi karena bibit terinfeksi, serangga yang mengunjungi bunga, alat-alat pemangkasan dan kontak akar.

Cara pencegahannya penyakit layu, antara lain: 1) Menanam bibit pisang yang sehat, 2) Melakukan pemupukan yang seimbang, 3) Sanitasi dan drainase yang baik agar waktu hujan, air tidak mengalir dan tergenang di permukaan tanah, 4) Memelihara tanaman dengan hati-hati untuk mengurangi terjadinya luka pada akar, dan 5) Untuk mencegah penularan oleh serangga melalui luka pada bunga yang rontok, maka dapat dilakukan pemotongan jantung.

Pemanenan

Pada musim kemarau, buah pisang sudah bisa dipanen setelah 80 hari sejak keluarnya jantung, dan pada musim hujan setelah 120 hari.  Ciri-ciri buah pisang yang sudah bisa dipanen antara lain: 1) kulit buah menjadi lebih cerah, 2) bentuk buah lebih membulat tidak bersiku, 3) saat panen buah jangan sampai terjadi banyak luka pada kulit buah akibat benturan atau gesekan agar mutu dan penampakan buah tetap baik dan menarik.

Sumber : https://dinpertanpangan.demakkab.go.id/?p=4908

Indonesia Face in Beautyful