Wikipedia

Hasil penelusuran

Selasa, 10 Oktober 2023

Sejarah Tanah Palestina













 

Sejarah Panjang Konflik Israel-Palestina, Begini Awalnya

Tommy Patrio Sorongan, CNBC Indonesia
NEWS
 
Selasa, 10/10/2023 10:30 WIB
Foto: AP/Khalil Hamra

Jakarta, CNBC Indonesia - Konflik antara Israel dan Palestina kembali pecah. Hal ini terjadi saat kelompok Hamas yang menguasai Gaza meluncurkan serangan besar-besaran ke wilayah Israel pada Sabtu (7/10/2023).

Serangan itu menandai ketegangan dan konflik berkepanjangan antara kedua pihak. Saat ini Israel telah mengadakan serangan balik skala besar, dengan korban di kedua sisi telah menembus angka ribuan.

Serangan Hamas ini merupakan salah satu rangkaian baru dalam sejarah Israel-Palestina. Selama beberapa dekade, media Barat, akademisi, pakar militer, dan pemimpin dunia menggambarkan konflik Israel-Palestina sebagai konflik yang sulit diselesaikan, rumit, dan menemui jalan buntu.


Berikut rangkuman sejarah konflik antara Palestina dengan Israel, sebagaimana dikutip dari Al Jazeera.

Awal Mula Konflik

Lebih dari 100 tahun yang lalu, pada tanggal 2 November 1917, Menteri Luar Negeri Inggris saat itu, Arthur Balfour, menulis surat yang ditujukan kepada Lionel Walter Rothschild, seorang tokoh komunitas Yahudi Inggris. Surat tersebut memang singkat, hanya 67 kata, namun isinya memberikan dampak terhadap Palestina yang masih terasa hingga saat ini.

Perjanjian ini mengikat pemerintah Inggris untuk "mendirikan rumah nasional bagi orang-orang Yahudi di Palestina" dan memfasilitasi "pencapaian tujuan ini". Surat tersebut dikenal dengan Deklarasi Balfour.

Intinya, kekuatan Eropa menjanjikan gerakan Zionis sebuah negara di wilayah yang 90% penduduknya adalah penduduk asli Arab Palestina.

Mandat Inggris dibentuk pada 1923 dan berlangsung hingga 1948. Selama periode tersebut, Inggris memfasilitasi migrasi massal orang Yahudi, di mana terjadi gelombang kedatangan yang cukup besar pasca gerakan Nazi di Eropa.

Dalam gelombang migrasi ini, mereka menemui perlawanan dari warga Palestina. Warga Palestina khawatir dengan perubahan demografi negara mereka dan penyitaan tanah mereka oleh Inggris untuk diserahkan kepada pemukim Yahudi.

Meningkatnya ketegangan akhirnya menyebabkan Pemberontakan Arab, yang berlangsung dari tahun 1936 hingga 1939. Pada April 1936, Komite Nasional Arab yang baru dibentuk meminta warga Palestina untuk melancarkan pemogokan umum, menahan pembayaran pajak dan memboikot produk-produk Yahudi untuk memprotes kolonialisme Inggris dan meningkatnya imigrasi Yahudi.

Pemogokan selama 6 bulan tersebut ditindas secara brutal oleh Inggris, yang melancarkan kampanye penangkapan massal dan melakukan penghancuran rumah, sebuah praktik yang terus diterapkan Israel terhadap warga Palestina hingga saat ini.

Fase kedua pemberontakan dimulai pada akhir 1937 dan dipimpin oleh gerakan perlawanan petani Palestina, yang menargetkan kekuatan Inggris dan kolonialisme.

Pada paruh kedua tahun 1939, Inggris telah mengerahkan 30.000 tentara di Palestina. Desa-desa dibom melalui udara, jam malam diberlakukan, rumah-rumah dihancurkan, dan penahanan administratif serta pembunuhan massal tersebar luas.

Bersamaan dengan itu, Inggris berkolaborasi dengan komunitas pemukim Yahudi dan membentuk kelompok bersenjata dan "pasukan kontra pemberontakan" yang terdiri dari para pejuang Yahudi bernama Pasukan Malam Khusus yang dipimpin Inggris.

Di dalam Yishuv, komunitas pemukim pra-negara, senjata diimpor secara diam-diam dan pabrik senjata didirikan untuk memperluas Haganah, paramiliter Yahudi yang kemudian menjadi inti tentara Israel. Dalam tiga tahun pemberontakan tersebut, 5.000 warga Palestina terbunuh, 15.000 hingga 20.000 orang terluka dan 5.600 orang dipenjarakan.

Solusi PBB

Pada 1947, populasi Yahudi telah membengkak menjadi 33% di Palestina, namun mereka hanya memiliki 6% lahan. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) kemudian mengadopsi Resolusi 181, yang menyerukan pembagian Palestina menjadi negara-negara Arab dan Yahudi.

Palestina menolak rencana tersebut karena rencana tersebut memberikan sekitar 56% wilayah Palestina kepada negara Yahudi, termasuk sebagian besar wilayah pesisir yang subur. Pada saat itu, warga Palestina memiliki 94% wilayah bersejarah dan mencakup 67% populasinya.

Insiden Nakba

Sebelum Mandat Kekuasaan Inggris berakhir pada 14 Mei 1948, paramiliter Israel sudah memulai operasi militer untuk menghancurkan kota-kota dan desa-desa Palestina guna memperluas perbatasan Israel yang akan lahir.

Pada April 1948, lebih dari 100 pria, wanita dan anak-anak Palestina dibunuh di desa Deir Yassin di pinggiran Yerusalem. Hal ini menentukan jalannya operasi selanjutnya, dan dari tahun 1947 hingga 1949, lebih dari 500 desa, kota kecil dan besar di Palestina dihancurkan dalam apa yang oleh orang Palestina disebut sebagai Nakba, atau "bencana" dalam bahasa Arab.

Diperkirakan 15.000 warga Palestina terbunuh, termasuk dalam puluhan pembantaian. Insiden ini juga membuat Gerakan Zionis menguasai 78% wilayah bersejarah Palestina. Sisanya yang sebesar 22% dibagi menjadi wilayah yang sekarang menjadi Tepi Barat yang diduduki dan Jalur Gaza yang terkepung.

Diperkirakan 750.000 warga Palestina terpaksa meninggalkan rumah mereka.

Saat ini keturunan mereka hidup sebagai 6 juta pengungsi di 58 kamp pengungsi di seluruh Palestina dan di negara-negara tetangga seperti Lebanon, Suriah, Yordania dan Mesir.

Pada 15 Mei 1948, Israel mengumumkan pendiriannya. Keesokan harinya, perang Arab-Israel pertama dimulai dan pertempuran berakhir pada Januari 1949 setelah gencatan senjata antara Israel dan Mesir, Lebanon, Yordania, dan Suriah.

Pada bulan Desember 1948, Majelis Umum PBB mengeluarkan Resolusi 194, yang menyerukan hak untuk kembali bagi pengungsi Palestina.

Pasca Nakba

Setidaknya 150.000 warga Palestina tetap tinggal di negara Israel yang baru dibentuk dan hidup di bawah pendudukan militer yang dikontrol ketat selama hampir 20 tahun sebelum mereka akhirnya diberikan kewarganegaraan Israel.

Mesir mengambil alih Jalur Gaza, dan pada tahun 1950, Yordania memulai pemerintahan administratifnya atas Tepi Barat. Lalu, pada tahun 1964, Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) dibentuk, dan setahun kemudian, partai politik Fatah didirikan.

Perang 6 Hari

Pada 5 Juni 1967, Israel menduduki sisa wilayah bersejarah Palestina, termasuk Jalur Gaza, Tepi Barat, Yerusalem Timur, Dataran Tinggi Golan Suriah, dan Semenanjung Sinai Mesir selama Perang Enam Hari melawan koalisi tentara Arab.

Bagi sebagian warga Palestina, hal ini menyebabkan perpindahan paksa kedua, atau Naksa, yang berarti "kemunduran" dalam bahasa Arab.

Pada Desember 1967, Front Populer Marxis-Leninis untuk Pembebasan Palestina dibentuk. Selama dekade berikutnya, serangkaian serangan dan pembajakan pesawat oleh kelompok sayap kiri menarik perhatian dunia terhadap penderitaan rakyat Palestina.

Pembangunan pemukiman dimulai di Tepi Barat dan Jalur Gaza yang diduduki. Sistem dua tingkat diciptakan di mana pemukim Yahudi diberikan semua hak dan keistimewaan sebagai warga negara Israel sedangkan warga Palestina harus hidup di bawah pendudukan militer yang mendiskriminasi mereka dan melarang segala bentuk ekspresi politik atau sipil.

Intifada Pertama

Intifada atau yang berarti perlawanan dalam Bahasa Arab dilakukan Palestina pertama kali di Jalur Gaza pada Desember 1987. Ini terjadi setelah empat warga Palestina tewas ketika sebuah truk Israel bertabrakan dengan dua van yang membawa pekerja Palestina.

Protes menyebar dengan cepat ke Tepi Barat dengan pemuda Palestina melemparkan batu ke tank dan tentara Israel. Hal ini juga menyebabkan berdirinya gerakan Hamas, sebuah cabang dari Ikhwanul Muslimin yang terlibat dalam perlawanan bersenjata melawan pendudukan Israel.

Respons keras tentara Israel dirangkum dalam kebijakan "Patah Tulang Mereka" yang dianjurkan oleh Menteri Pertahanan saat itu, Yitzhak Rabin. Aksi ini mencakup pembunuhan mendadak, penutupan universitas, deportasi aktivis, dan penghancuran rumah.

Intifada terutama dilakukan oleh kaum muda dan diarahkan oleh Kepemimpinan Nasional Terpadu Pemberontakan, sebuah koalisi faksi politik Palestina yang berkomitmen untuk mengakhiri pendudukan Israel dan membangun kemerdekaan Palestina.

Intifada ditandai dengan mobilisasi rakyat, protes massal, pembangkangan sipil, pemogokan yang terorganisir dengan baik, dan kerja sama komunal. Menurut organisasi hak asasi manusia Israel B'Tselem, 1.070 warga Palestina dibunuh oleh pasukan Israel selama Intifada, termasuk 237 anak-anak. Lebih dari 175.000 warga Palestina ditangkap.

Intifada juga mendorong komunitas internasional untuk mencari solusi atas konflik tersebut.

Perjanjian Oslo dan Otoritas Palestina

Intifada berakhir dengan penandatanganan Perjanjian Oslo pada tahun 1993 dan pembentukan Otoritas Palestina (PA), sebuah pemerintahan sementara yang diberikan pemerintahan mandiri terbatas di wilayah pendudukan Tepi Barat dan Jalur Gaza.

PLO mengakui Israel berdasarkan solusi dua negara dan secara efektif menandatangani perjanjian yang memberi Israel kendali atas 60% Tepi Barat, serta sebagian besar sumber daya tanah dan air di wilayah tersebut.

PA seharusnya memberi jalan bagi pemerintah Palestina terpilih pertama yang menjalankan negara merdeka di Tepi Barat dan Jalur Gaza dengan ibu kotanya di Yerusalem Timur, namun hal itu tidak pernah terjadi.

Kritik terhadap PA memandangnya sebagai subkontraktor korup bagi pendudukan Israel yang bekerja sama erat dengan militer Tel Aviv dalam menekan perbedaan pendapat dan aktivisme politik. Pada tahun 1995, Israel membangun pagar elektronik dan tembok beton di sekitar Jalur Gaza, menghentikan interaksi antara wilayah Palestina yang terpecah.

Intifada Kedua

Intifada kedua dimulai pada 28 September 2000, ketika pemimpin oposisi Partai Likud Israel, Ariel Sharon, melakukan kunjungan provokatif ke kompleks Masjid Al Aqsa. Saat itu, ribuan pasukan keamanan dikerahkan di dalam dan sekitar Kota Tua Yerusalem.

Bentrokan antara pengunjuk rasa Palestina dan pasukan Israel menewaskan lima warga Palestina dan melukai 200 orang selama dua hari. Insiden ini memicu pemberontakan bersenjata yang meluas.

Selama Intifada, Israel menyebabkan kerusakan yang belum pernah terjadi sebelumnya terhadap perekonomian dan infrastruktur Palestina. Israel menduduki kembali wilayah yang diperintah oleh PA dan memulai pembangunan tembok pemisah yang seiring dengan maraknya pembangunan pemukiman, menghancurkan mata pencaharian dan komunitas warga Palestina.

Pemukim Yahudi pun juga mulai bermukim secara ilegal di wilayah itu. Ruang bagi warga Palestina semakin menyusut karena jalan-jalan dan infrastruktur yang hanya diperuntukkan bagi pemukim Yahudi ilegal itu.

Pada saat Perjanjian Oslo ditandatangani, lebih dari 110.000 pemukim Yahudi tinggal di Tepi Barat, termasuk Yerusalem Timur. Saat ini, jumlahnya mencapai lebih dari 700.000 orang di lebih dari 100.000 hektar tanah yang diambil alih dari Palestina.

Perang Saudara Palestina

Pemimpin PLO Yasser Arafat meninggal pada tahun 2004. Setahun kemudian, Intifada kedua berakhir, permukiman Israel di Jalur Gaza dibongkar, dan tentara Israel serta 9.000 pemukim meninggalkan daerah kantong tersebut.

Setahun kemudian, warga Palestina memberikan suara dalam pemilihan umum untuk pertama kalinya. Hamas memenangkan mayoritas. Namun, pecah perang saudara Fatah-Hamas yang berlangsung berbulan-bulan dan mengakibatkan kematian ratusan warga Palestina.

Hamas mengusir Fatah dari Jalur Gaza, dan Fatah kembali menguasai sebagian Tepi Barat. Pada bulan Juni 2007, Israel memberlakukan blokade darat, udara dan laut di Jalur Gaza, menuduh Hamas melakukan "terorisme".

Serangan ke Jalur Gaza

Israel telah melancarkan empat serangan militer berkepanjangan di Gaza yakni di tahun 2008, 2012, 2014 dan 2021. Ribuan warga Palestina telah terbunuh, termasuk banyak anak-anak, dan puluhan ribu rumah, sekolah, dan gedung perkantoran telah hancur.

Pembangunan kembali hampir mustahil dilakukan karena pengepungan tersebut menghalangi material konstruksi, seperti baja dan semen, mencapai Gaza.

Serangan tahun 2008 melibatkan penggunaan senjata yang dilarang secara internasional, seperti gas fosfor.

Pada 2014, dalam kurun waktu 50 hari, Israel membunuh lebih dari 2.100 warga Palestina, termasuk 1.462 warga sipil dan hampir 500 anak-anak. Selama serangan tersebut, sekitar 11.000 warga Palestina terluka, 20.000 rumah hancur dan setengah juta orang mengungsi.

Saksikan video di bawah ini:

Video: Korban Tewas Perang Israel-Hamas Tembus 1.600 Jiwa


(luc/luc)

Serangan Kilat Hamas ke Israel

 

Serangan Kilat Hamas dan Peta Baru Timur Tengah

serangan kilat Hamas sejatinya telah mengubah pandangan dunia.

PIZARO GOZALISenior Fellow Asia Middle East Centre for Research and Dialogue, Kuala Lumpur, Kandidat PhD Policy Research and International Studies Universitas Sains Malaysia

Kelompok perlawanan Palestina Harakat al-Muqawama al-Islamiyyah atau Hamas kembali mendapatkan atensi global setelah serangan kilatnya pada Sabtu pagi 7 Oktober 2023 berhasil memukul kekuatan penjajah Zionis.

Perang ini merupakan perang paling serius dan paling mematikan yang dilakukan Hamas dalam beberapa dekade terakhir. Hamas, yang artinya Gerakan Perlawanan Islam itu, menegaskan serangan ini terjadi karena Israel mengabaikan peringatan untuk tidak menodai kesucian Masjid Al-Aqsa dan membunuh warga Palestina. Ini adalah respons yang diharapkan dari rakyat Palestina, yang telah menghadapi kolonialis dan pendudukan pemukim Israel selama beberapa dekade.

Selama 16 tahun, warga Gaza menghadapi penindasan, pembatasan, dan pembunuhan akibat blokade kolonial. Sebanyak 80 persen dari mereka hidup dalam kemiskinan. Menurut UNICEF, anak-anak Gaza mengalami krisis air dan sanitasi yang akut. Mereka bersama kedua orang tuanya meninggal oleh serangan rudal dan roket penjajah.

 
Selama 16 tahun, warga Gaza menghadapi penindasan, pembatasan, dan pembunuhan akibat blokade kolonial Israel. Sebanyak 80 persen dari mereka hidup dalam kemiskinan.
 
 

Aljazirah mencatat sejak tahun 2008 hingga 2023, sebanyak 6.407 warga dan kelompok perjuangan Palestina gugur di tangan rezim penjajah, jauh berbanding 308 di pihak penjajah Zionis, yang mayoritas adalah personel militer.

Kini situasi telah berbalik. Perlawanan terus bangkit. Rezim kolonial Zionis mengatakan setidaknya sudah lebih 700 tentara dan warganya terbunuh akibat serangan pada Sabtu pagi. Jumlah itu diperkirakan akan terus bertambah.

Hamas juga menyandera tentara dan warga Israel. Komandan Angkatan Darat penjajah Zionis Mayor Jenderal Nimrod Aloni dilaporkan termasuk yang ditangkap oleh Hamas. Ini merupakan kemenangan terbesar Hamas sejak Zionis memblokade Gaza pada 2007.

Di balik serangan ini, Resolusi Majelis Umum PBB 37/43 pada 1982 telah menegaskan bahwa “Reaffirms the legitimacy of the struggle of peoples for their independence, territorial integrity, national unity and liberation from colonial domination, apartheid and foreign occupation by all available means, including armed struggle.”

Yang artinya, “Menegaskan kembali legitimasi perjuangan masyarakat untuk kemerdekaan, integritas teritorial, persatuan nasional dan pembebasan dari dominasi kolonial, apartheid dan pendudukan asing dengan segala cara yang ada, termasuk perjuangan bersenjata.”

Oleh karenanya, operasi Badai Al-Aqsa merupakan bagian dari perjuangan bersenjata Palestina yang diprovokasi oleh pendudukan dan kolonialisme Israel. Setidaknya, ada beberapa analisis yang dapat dibaca dalam peristiwa ini.

 
Operasi Badai Al-Aqsa merupakan bagian dari perjuangan bersenjata Palestina yang diprovokasi oleh pendudukan dan kolonialisme Israel. Setidaknya, ada beberapa analisis yang dapat dibaca dalam peristiwa ini.
 
 

Pertama, serangan ini sejatinya menampar wajah Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu yang pada dua pekan lalu secara percaya diri memperkenalkan Peta Baru Timur Tengah di Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk menujukkan keberhasilan rekonsiliasi penjajah Zionis dengan negara-negara Arab.

Netanyahu menilai kekuatan Arab kini sudah berada dalam genggamannya dan menjadi era baru bagi hubungan Israel-Arab di bawah kepemimpinannya. Namun, serangan Hamas yang meluluhlantakkan kekuatan militer penjajah Zionis telah menginterupsi dunia internasional bahwa rekonsiliasi itu tidak benar-benar mewakili jantung hati rakyat Palestina. Dan, Israel tidak benar-benar dapat melumpuhkan perlawanan bangsa Palestina.

Dalam pidatonya, pemimpin Hamas Ismail Haniyah menegaskan kepada negara-negara Arab lainnya bahwa Israel tidak dapat memberi mereka perlindungan apa pun bagi Palestina dan bangsa Arab meski ada pemulihan hubungan diplomatik baru-baru ini. “Semua perjanjian normalisasi yang Anda tandatangani dengan entitas tersebut tidak dapat menyelesaikan konflik (Palestina) ini,” ucap Haniyah.

Oleh karena itu, serangan terstruktur yang dilakukan Hamas telah membuka mata dunia bahwa faksi perlawaan Palestina masih belum padam. Hamas yang memimpin Gaza telah meraih banyak reputasi, kemajuan, dan kemenangan.

Sekaligus menjadi antitesis bagi Otoritas Palestina yang dinilai tunduk terhadap dominasi Israel dan cenderung korup. Mahmoud Abbas boleh saja menjadi pemerintahan de jure bagi Palestina, tapi secara de facto Hamas menjadi pemimpin yang sebenarnya bagi perjuangan rakyat Palestina.

Kedua, apa yang dilakukan Hamas ini merupakan strategi kontra militer yang brilian terhadap inisiasi yang akan dilakukan Tel Aviv. Hamas sudah mengindentifikasi bahwa Netanyahu akan melakukan serangan ke Masjid Al-Aqsha dan Gaza untuk mengalihkan isu atas kasus korup yang membelit dirinya. Hal ini dilakukan Netanyahu guna meraih simpati publik yang telah mendesak dirinya mundur.

Namun, secara cerdik, Hamas telah mendahului langkah Netanyahu untuk membuyarkan rencana itu. Serangan kilat Hamas ini telah membuat Netanyahu makin mengalami defisit kepercayaan yang terus mengalami tekanan publik, terlebih banyak warga disandera oleh Hamas.

 
Serangan kilat Hamas ini telah membuat Netanyahu makin mengalami defisit kepercayaan yang terus mengalami tekanan publik, terlebih banyak warga disandera oleh Hamas.
 
 

Sejak 2018, Netanyahu dirundung oleh penyelidikan korupsi dengan isu suap, penipuan, dan pelanggaran kepercayaan. Netanyahu diduga telah menerima hadiah dari pengusaha kaya dan memberikan bantuan untuk mencoba mendapatkan pemberitaan yang lebih positif.

Tidak hanya itu, Hamas juga mendahului pertemuan yang akan dilakukan Menteri Luar Negeri Israel Eli Cohen terhadap negara-negara Arab pada Oktober 2023 dalam upaya memperluas suksesi rekonsiliasi kepada Israel. Negara-negara itu sebelumnya sudah sesumbar bahwa Israel benar-benar sudah menguasai Palestina tanpa ada rintangan yang akan memuluskan Peta Baru Timur Tengah.

Ketiga, manuver yang dilakukan Hamas makin mendekatkan posisinya dengan Tepi Barat. Pemimpin Hamas Ismail Haniyah mengatakan, faksi-faksi bersenjata Palestina bertekad memperluas pertempuran yang sedang berlangsung di Gaza hingga ke Tepi Barat dan Yerusalem.

Rezim kolonialis Zionis sendiri telah mengevakuasi warga sipil dari kota-kota yang berbatasan dengan Gaza. Laksamana Muda Daniel Hagari, juru bicara militer Zionis, mengatakan pasukannya sedang mengevakuasi semua warga sipil dari 24 desa dekat perbatasan Gaza.

Tindakan ini merupakan indikasi bahwa Israel sedang mempersiapkan operasi di pesisir Palestina. Jika Hamas dapat memenangkan pertempuran ini dan menguasai wilayah itu, maka peta akan berubah drastis dalam hubungan warga Palestina dan Masjid Al-Aqsa. Namun situasi ini masih up and downdan penuh dinamika.

Walhasil, serangan kilat Hamas sejatinya telah mengubah pandangan dunia. Simpati masyarakat sipil, aktivis HAM, akademisi, dan sejumlah negara mengalir kepada Hamas.

Sejatinya, mereka yang kini lebih pantas memperkenalkan Peta Baru Timur Tengah yang sejati kepada dunia internasional, bukan Netanyahu dan negara-negara mitranya yang mendukung eksistensi rezim penjajah.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

Benarkah Baitul Makdis 'Dijanjikan Tuhan' untuk Kaum Yahudi?

Perlu telaah, benarkah klaim Yahudi bahwa Baitul Makdis atau Yerusalem adalah tanah yang dijanjikan-Nya untuk mereka.

SELENGKAPNYA

Standar Ganda Barat Atas Israel Bentuk Kemunafikan

Saat Israel mencoba mengambil tanah Palestina secara ilegal mereka malah diam.

SELENGKAPNYA

Telusur Sejarah Hamas

Hamas berdiri dengan komitmen kuat untuk berjuang demi Palestina melawan penjajahan Israel.

SELENGKAPNYA

Hamas dan Fatah: Beda Jalan, Sama Tujuan

Dalam sejarah perjuangan Palestina, kedua faksi ini menempuh cara masing-masing.

SELENGKAPNYA

Shoping Sons Service