Blog ini dibuat semata mata hanya untuk penyaluran hoby dan persahabatan tidak bermaksud merugikan pihak lain dan ataupun melanggar undang undang, terima kasih atas kunjunganya.
Wikipedia
Hasil penelusuran
Kamis, 26 Mei 2011
KOMANDO PASUKAN KHUSUS/SPECIAL FORCE
Komando Pasukan Khusus (Kopassus)
Posted on 19 Februari 2009 by Bambang Sriwijonarko
logo-kopassusKomando Pasukan Khusus yang disingkat menjadi Kopassus adalah bagian dari Bala Pertahanan Pusat yang dimiliki oleh TNI Angkatan Darat yang memiliki kemampuan khusus seperti bergerak cepat di setiap medan, menembak dengan tepat, pengintaian, dan anti teror.
Dalam perjalanan sejarahnya, Kopassus berhasil mengukuhkan keberadaannya sebagai pasukan khusus yang mampu menangani tugas-tugas yang berat. Beberapa operasi yang dilakukan oleh Kopassus diantaranya adalah operasi penumpasan DI/TII, operasi militer PRRI/Permesta, Operasi Trikora, Operasi Dwikora, penumpasan G30S/PKI, Pepera di Irian Barat, Operasi Seroja di Timor Timur, operasi pembebasan sandera di Bandara Don Muang-Thailand (Woyla), Operasi GPK di Aceh, operasi pembebasan sandera di Mapenduma, serta berbagai operasi militer lainnya.
Prajurit Kopassus dapat mudah dikenali dengan baret merah yang disandangnya, sehingga pasukan ini sering disebut sebagai pasukan baret merah. Kopassus memiliki moto Berani, Benar, Berhasil.
Sejarah Kopassus
Kesko TT III/Siliwangi
Pada tanggal 16 April 1952, Kolonel A.E. Kawilarang mendirikan Kesatuan Komando Tentara Territorium III/Siliwangi (Kesko TT). Ide pembentukan kesatuan komando ini berasal dari pengalamannya menumpas gerakan Republik Maluku Selatan (RMS) di Maluku. Saat itu A.E. Kawilarang bersama Letkol Slamet Riyadi (Brigjen Anumerta) merasa kesulitan menghadapi pasukan komando RMS. A.E. Kawilarang bercita-cita untuk mendirikan pasukan komando yang dapat bergerak tangkas dan cepat.
Komandan pertama saat itu adalah Idjon Djanbi. Idjon Djanbi adalah mantan kapten KNIL Belanda kelahiran Kanada, yang memiliki nama asli Kapten Rokus Bernardus Visser. Pada tanggal 9 Februari 1953, Kesko TT dialihkan dari Siliwangi dan langsung berada di bawah Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD).
KKAD
Pada tanggal 18 Maret 1953 Mabes ABRI mengambil alih dari komando Siliwangi dan kemudian mengubah namanya menjadi Korps Komando Angkatan Darat (KKAD).
RPKAD
Tanggal 25 Juli 1955 organisasi KKAD ditingkatkan menjadi Resimen Pasukan Komando Angkatan Darat (RPKAD), yang tetap dipimpin oleh Mochamad Idjon Djanbi.
Tahun 1959 unsur-unsur tempur dipindahkan ke Cijantung, di timur Jakarta. Dan pada tahun 1959 itu pula Kepanjangan RPKAD diubah menjadi Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD). Saat itu organisasi militer itu telah dipimpin oleh Mayor Kaharuddin Nasution.
Pada saat operasi penumpasan DI/TII, komandan pertama, Mayor Idjon Djanbi terluka, dan akhirnya digantikan oleh Mayor RE Djailani.
Puspassus AD
Pada tanggal 12 Desember 1966, RPKAD berubah pula menjadi Pusat Pasukan Khusus AD (Puspassus AD). Nama Puspassus AD ini hanya bertahan selama lima tahun. Sebenarnya hingga tahun 1963, RPKAD terdiri dari dua batalyon, yaitu batalyon 1 dan batalyon 2, kesemuanya bermarkas di Jakarta. Ketika, batalyon 1 dikerahkan ke Lumbis dan Long Bawan, saat konfrontasi dengan Malaysia, sedangkan batalyon 2 juga mengalami penderitaan juga di Kuching, Malaysia, maka komandan RPKAD saat itu, Letnan Kolonel Sarwo Edhie -karena kedekatannya dengan Panglima Angkatan Darat, Letnan Jenderal Ahmad Yani, mengusulkan 2 batalyon ‘Banteng Raider’ bentukan Ahmad Yani ketika memberantas DI/TII di Jawa Tengah di upgrade di Batujajar, Bandung menjadi Batalyon di RPKAD, masing-masing Batalyon 441″Banteng Raider III”, Semarang ditahbiskan sebagai Batalyon 3 RPKAD di akhir tahung 1963. Menyusul kemudian Batalyon Lintas Udara 436 “Banteng Raider I”, Magelang menjadi Batalyon 2 menggantikan batalyon 2 lama yang kekurangan tenaga di pertengahan 1965. Sedangkan Batalyon 454 “Banteng Raider II” tetap menjadi batalyon di bawah naungan Kodam Diponegoro. Batalyon ini kelak berpetualang di Jakarta dan terlibat tembak menembak dengan Batalyon 1 RPKAD di Hek.
Kopassandha
Tanggal 17 Februari 1971, resimen tersebut kemudian diberi nama Komando Pasukan Sandi Yudha (Kopassandha).
Dalam operasi di Timor Timur pasukan ini memainkan peran sejak awal. Mereka melakukan operasi khusus guna mendorong integrasi Timtim dengan Indonesia. Pada tanggal 7 Desember 1975, pasukan ini merupakan angkatan utama yang pertama ke Dili. Pasukan ini ditugaskan untuk mengamankan lapangan udara. Sementara Angkatan Laut dan Angkatan Udara mengamankan kota. Semenjak saat itu peran pasukan ini terus berlanjut dan membentuk sebagian dari kekuatan udara yang bergerak (mobile) untuk memburu tokoh Fretilin, Nicolau dos Reis Lobato pada Desember 1978. Prestasi yang melambungkan nama Kopassandha adalah saat melakukan operasi pembebasan sandera yaitu para awak dan penumpang pesawat DC-9 Woyla Garuda Indonesian Airways yang dibajak oleh kelompok yang menamakan diri Komando Jihad di bawah pimpinan Imran bin M Zen, April 1981. Pesawat yang tengah menerbangi rute Jakarta-Medan itu sempat didaratkan di Penang, Malaysia dan akhirnya mendarat di Bandara Don Muang, Bangkok. Di bawah pimpinan Letkol Sintong Panjaitan, pasukan Kopassandha mampu membebaskan seluruh sandera dan menembak mati semua pelaku pembajakan. Korban yang jatuh dari operasi ini adalah Capa (anumerta) Ahmad Kirang yang meninggal tertembak pembajak serta pilot Captain Herman Rante yang juga ditembak oleh pembajak. Pada tahun 1992 menangkap penerus Lobato, Xanana Gusmao, yang bersembunyi di Dili bersama pendukungnya.
Kopassus
Dengan adanya reorganisasi di tubuh ABRI, sejak tanggal 26 Desember 1986, nama Kopassandha berubah menjadi Komando Pasukan Khusus yang lebih terkenal dengan nama Kopassus hingga kini.
ABRI selanjutnya melakukan penataan kembali terhadap grup di kesatuan Kopassus. Sehingga wadah kesatuan dan pendidikan digabungkan menjadi Grup 1, Grup 2, Grup 3/Pusdik Pasuss, serta Detasemen 81.
Sejak tanggal 25 Juni 1996 Kopasuss melakukan reorganisasi dan pengembangan grup dari tiga Grup menjadi lima Grup.
Grup 1/Parakomando – berlokasi di Serang, Banten
Grup 2/Parakomando – berlokasi di Kartasura, Jawa Tengah
Grup 3/Pusat Pendidikan Pasukan Khusus – berlokasi di Batujajar, Jawa Barat
Grup 4/Sandhi Yudha – berlokasi di Cijantung, Jakarta Timur
Grup 5/Anti Teror – berlokasi di Cijantung, Jakarta Timur
Detasemen 81, unit anti teroris Kopassus, ditiadakan dan diintegrasikan ke grup-grup tadi. Sebutan bagi pemimpin Kopassus juga ditingkatkan dari Komandan Kopassus yang berpangkat Brigjen menjadi Komandan Jendral (Danjen) Kopassus yang berpangkat Mayjen bersamaan dengan reorganisasi ini.
Perbedaan struktur dengan satuan infanteri lain
Struktur organisasi Kopassus berbeda dengan satuan infanteri pada umumnya. Meski dari segi korps, para anggota Kopassus pada umumnya berasal dari Korps Infanteri, namun sesuai dengan sifatnya yang khusus, maka Kopassus menciptakan strukturnya sendiri, yang berbeda dengan satuan infanteri lainnya.
Kopassus sengaja untuk tidak terikat pada ukuran umum satuan infanteri, hal ini tampak pada satuan mereka yang disebut Grup. Penggunaan istilah Grup bertujuan agar satuan yang dimiliki mereka terhindar dari standar ukuran satuan infanteri pada umumnya (misalnya Brigade). Dengan satuan ini, Kopassus dapat fleksibel dalam menentukan jumlah personel, bisa lebih banyak dari ukuran brigade (sekitar 5000 personel), atau lebih sedikit.
Lima Grup Kopassus
Secara garis besar satuan dalam Kopassus dibagi dalam lima Grup, yaitu:
Grup 1/Para Komando – berlokasi di Serang, Banten
Grup 2/Para Komando – berlokasi di Kartasura, Jawa Tengah
Pusat Pendidikan Pasukan Khusus – berlokasi di Batujajar, Jawa Barat
Grup 3/Sandhi Yudha – berlokasi di Cijantung, Jakarta Timur
Satuan 81/Penanggulangan Teror – berlokasi di Cijantung, Jakarta Timur
Kecuali Pusdikpassus, yang berfungsi sebagai pusat pendidikan, Grup-Grup lain memiliki fungsi operasional (tempur). Dengan demikian struktur Pusdikpassus berbeda dengan Grup-Grup lainnya. Masing-masing Grup (kecuali Pusdikpassus), dibagi lagi dalam batalyon, misalnya: Yon 11 dan 12 (dari Grup 1), serta Grup 21 dan 22 (dari Grup 2).
Jumlah personel
Karena Kopassus merupakan pasukan khusus, maka dalam melaksanakan operasi tempur, jumlah personel yang terlibat relatif sedikit, tidak sebanyak jumlah personel infanteri biasa, dengan kata lain tidak menggunakan ukuran konvensional mulai dari peleton hingga batalyon. Kopassus jarang sekali (mungkin tidak pernah) melakukan operasi dengan melibatkan kekuatan satu batalyon sekaligus.
Istilah di kesatuan
Karena berbeda dengan satuan pada umumnya, satuan di bawah batalyon bukan disebut kompi, tetapi detasemen, unit atau tim. Kopassus jarang melibatkan personel yang banyak dalam suatu operasi. Supaya tidak terikat dengan ukuran baku pada kompi atau peleton, maka Kopassus perlu memiliki sebutan tersendiri bagi satuannya, agar lebih fleksibel.
Pangkat komandan
Komandan Grup berpangkat Kolonel,
Komandan Batalyon berpangkat Letnan Kolonel,
Komandan Detasemen, Tim, Unit, atau Satuan Tugas Khusus, adalah perwira yang pangkatnya disesuaikan dengan beban tugasnya (mulai Letnan sampai Mayor).
Share this:
StumbleUpon
Digg
Filed under: Militer Ditandai: | Kopassus, Militer, TNI AD
Rabu, 25 Mei 2011
Merah putih berkibar di puncak Danali Alaska
Bendera Merah Putih Berkibar di Puncak Denali
Budiman Tanuredjo | Jimmy Hitipeuw | Selasa, 17 Mei 2011 | 08:44 WIB
Dibaca: 7763
Komentar: 8
|
Share:
KOMPAS/HARRY SUSILO Tim Ekspedisi Tujuh Puncak Dunia bergerak bersama dengan membawa beban menggunakan ransel dan sled menuju kamp satu Denali, Alaska, Amerika Serikat, Jumat (29/4/2011) waktu setempat. Mereka membawa sebagian logistik dan peralatan ke kamp satu. Pendakian Gunung Denali (6.194 meter di atas permukaan laut) direncanakan selama 21 hari.
TERKAIT:
Pendaki Berangkat ke Puncak Denali
"Sherpa", Pendaki Sejati Everest
Bertolak ke Kamp Terakhir Denali
Tim Mahitala Terpaksa Kembali ke "Base Camp"
Tim Mahitala Bertahan di Camp II
KOMPAS.com — Tim Ekspedisi Tujuh Puncak Dunia (Seven Summits) berhasil menancapkan bendera Merah Putih setelah mendaki puncak tertinggi di Alaska, Amerika Serikat, yaitu puncak Denali/Mc Kinley, pada 15/5/2011 (16/5/2011 pukul 12.15 WIB).
Tim berhasil kembali ke High Camp pada 16 Mei 2011 dalam keadaan sehat. Ada dua pendaki yang tidak berhasil mencapai puncak, tetapi belum diketahui pasti siapa karena kemungkinan putusnya hubungan telepon satelit antara Yoppi R Saragih, manajer tim ekspedisi dari Talkeetna, dan pendaki.
Namun, diketahui kemudian pendaki yang tidak berhasil mencapai puncak Denali adalah Ardeshir dan Popo. Sementara pendaki Wanadri yang berhasil mencapai puncak tertinggi di Alaska itu dilaporkan mencapai empat orang.
MERAH PUTIH MENANCAP DI PUNCAK EVERST 8488 DPL
Pendaki Mahitala Menapak Puncak Everest
Ahmad Arif | A. Wisnubrata | Jumat, 20 Mei 2011 | 08:05 WIB
Dibaca: 6070
Komentar: 19
|
Share:
MAHITALA UNPAR Dari Camp IV, Kamis (19/5/2011) pukul 21.00, jika tidak ada kendala tim Mahitala akan tiba di Puncak Everest pada Jumat (20/5/2011) pagi ini.
TERKAIT:
Mahitala Bersiap Mendaki Puncak Everest
Tim Turun ke Base Camp Everest
Cuaca Buruk Hadang Mahitala
Angin Kencang Landa Kamp Dua Everest
EVEREST, KOMPAS.com — Pendaki Indonesia Seven Summits Expedition Mahitala Universitas Katolik Parahyangan, Broery Andrew Sihombing (23), mencapai puncak Everest, Jumat (20/5/2011) pukul 05.22 waktu setempat.
Dia mencapai puncak ditemani pemandu dari Mountain Experience, Hiroyuki Kuraoka dan Pemba Nuru (sherpa). Broery mencapai puncak Everest setelah berjalan tujuh jam dari Camp IV.
Pukul 06.11 waktu setempat atau 49 menit kemudian, Janathan Ginting (23) menyusul Broery ke puncak Everest. Janathan tiba ditemani Gelgen Dorji (sherpa). Sementara dua pendaki lainnya, Sofyan Arief Fesa (28) dan Xaferius Frans (24), segera menyusul.
Melalui radio ke Base Camp Everest, Broery mengabarkan bahwa kondisinya sangat baik. Cuaca juga cerah walaupun berangin. Dia masih menunggu ketiga pendaki lainnya untuk bergabung di puncak Everest sebelum kemudian turun bersama-sama.
Seni Budaya Jawa
Mengenal Rubiyah Lewat "Matah Ati"
Teguh Prayoga Sudarmanto | Jodhi Yudono | Kamis, 28 April 2011 | 02:57 WIB
Dibaca: 4264
Komentar: 3
|
Share:
mariaulfa1801.blogspot.com
Pertunjukan "Matah Ati"
JAKARTA, KOMPAS.com — Pernahkah Anda mengenal sosok Rubiyah? Siapakah sosok Rubiyah dan mengapa harus mengenalnya? Bagi yang belum mengenalnya, tampaknya Anda harus menonton sendratari yang satu ini. Cerita sendratari tersebut mengangkat kisah nyata perjuangan dan perjalanan cinta seorang perempuan kelahiran Tanah Jawa yang akan membantu melengkapi pembelajaran terhadap sejarah bangsa ini.
"Indonesia memiliki begitu banyak cerita sejarah yang menarik, yang memberikan inspirasi tentang siapa bangsa ini sesungguhnya. Matah Ati diangkat dari perjuangan cinta seorang wanita Jawa pada abad ke-18 yang mendedikasikan hidupnya bagi keluarga dan bangsa. Kisah ini semakin relevan dengan zaman sekarang karena apa yang diyakini Rubiyah pada masa itu hingga kini terus diyakini oleh berjuta wanita Indonesia lainnya bahwa perjuangan merupakan bentuk cinta untuk mewujudkan semagat kebersamaan dan membangun nilai-nilai kemanusiaan," demikian diungkapkan Bandoro Raden Ayu (BRAy) Atilah Soeryadjaya, pencetus ide dan konsep serta penulis naskah dan sutradara dari sendratari Matah Ati, Senin (26/4/2011) di Seribu Rasa, Menteng, Jakarta.
Kisah fiktif yang rencananya disajikan dalam tata artisitik panggung "wah" ini dipersembahkan untuk putra-putri bangsa pada 13-16 Mei 2011 di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta. "Tidak tertutup kemungkinan bagi kita untuk melakukannya di kota-kota lainnya di Indonesia," tambah Atilah.
Berbagai terobosan unik pun dilakukan. Salah satunya dengan tidak menjadikan penggunaan bahasa Jawa dalam sendratari sebagai faktor penghambat.
Hal tersebut telah menjadikan penampilan perdana pementasan ini di Teater Esplanade Singapura, 22-23 Oktober 2010, mendapat standing ovation serta pujian bagi tata panggung dan artistik. Inilah berkah dari terobosan seni yang telah dilakukan pada saat itu.
"Terobosan dalam seni pertunjukan memberikan keuntungan ketika penonton dapat menikmati pertunjukan budaya dalam tata panggung yang canggih, membawa pentas tari ini ke dalam sebuah pertunjukan masa kini yang modern dan penuh kejutan," ucap Atilah.
Cerita ini berangkat dari rasa penasaran Atilah terhadap masa lalu nenek moyangnya. "Sebelum raja-raja Mangkunegaran itu ada siapa sih? Ternyata saya menemukan Rubiyah. Saya pun tidak menyangka, dan cerita yang saya buat ini mengalir saja. Kemudian saya berdiskusi dan melakukan riset selama lebih kurang dua tahun sebelum akhirnya dipentaskan," ujar Atilah.
Fakta historis yang melatarbelakangi cerita Matah Ati ini berasal dari perjuangan Rubiyah mendampingi Raden Mas Said. Rubiyah memimpin 40 prajurit wanita yang mengisahkan perjalanan dari perjuangan dan cinta yang dia lakukan pada tiga abad silam. "Salutnya, kita juga tidak hanya mengenal pahlawan perempuan dari negeri kita, seperti Dewi Sartika, Kartini, dan Cut Nyak Dhien, tetapi juga ada Rubiyah dari Tanah Jawa," ucapnya.
"Bahkan, di saat seperti itu juga sudah ada persamaan jender yang kuat. Ternyata kekalahan kita tidak disebabkan karena kita lemah secara fisik melawan Belanda, tetapi terlebih penting karena adanya pengkhianatan yang dilakukan antarsesama saudara sendiri akibat politik devide et impera Belanda," tambah Jay Subyakto, penata artistik Matah Ati.
Harapannya, menurut penyelenggara, pertunjukan ini dapat menjadi kebanggaan serta sumber referensi baru mengenai sejarah bangsa ini. "Ini sekaligus mempertebal rasa cinta bangsa terhadap budaya Indonesia, khususnya budaya Jawa," tutup Atilah.
Harga tiket pertunjukan yang diproduksi oleh PT Global 3L Production ini terbagi dalam kelas VIP Rp 750.000, Kelas I Rp 550.000, Kelas II Rp 350.000, dan Kelas III Rp 200.000.
Pentas Spektakuler "Matah Ati"
Fikria Hidayat | Jumat, 13 Mei 2011 | 02:39 WIB
Dibaca: 6173
Komentar: 0
|
Share:
KOMPAS IMAGES/BANAR FIL ARDHI Pementasan tari Matah Ati karya sutradara Atilah Soeryadjaya bersama penata artistik Jay Subyakto, di Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki, Kamis (12/5/2011) malam. Pentas tari tersebut bercerita tentang cinta dan kekaguman jiwa kesatria Raden Mas Said kepada seorang wanita bernama Rubiyah yang lahir di Desa Matah.
Foto:
1 2 3 4 » Play Slideshow
TERKAIT:
Jay Subiyakto: Saya Dimusuhi Para Penari
Mei, Pentas Tari "Matah Ati"
Borong "Matah Ati"
Sendratari "Matah Ati" Pulang Kampung
Mengenal Rubiyah Lewat "Matah Ati"
JAKARTA, KOMPAS.com — Pentas tari kolosal "Matah Ati" sukses digelar khusus untuk wartawan di Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki, Kamis (12/5/2011) malam.
Pementasan tari karya sutradara Bandoro Raden Ayu Atilah Soeryadjaya itu melibatkan 78 orang penari. Pentas tersebut benar-benar merupakan pertunjukan budaya dengan koreografi dan musik tradisional yang didukung teknologi dan tata lampu modern yang tidak merusak pakem tradisi tari Jawa.
Sang penata artistik panggung, Jay Subyakto, memakai panggung berbahan metal berkemiringan 15 derajat yang dilengkapi electronic trap door berukuran 14 x 14 x 2,5 meter. Itu merupakan salah satu cara membangun efek spektakuler yang menarik banyak kalangan untuk menonton tari tradisional.
Pertunjukan tari kolosal yang diangkat dari cerita sejarah bangsa itu akan dibuka untuk umum pada 13-16 Mei 2011 di tempat yang sama.
Sebelumnya, "Matah Ati" sukses digelar perdana di Teater Esplanade, Singapura, 22-23 Oktober 2010 dengan disambut tepuk tangan meriah serta pujian.
Foto lengkap di: KOMPAS IMAGES
Selasa, 22 Maret 2011
HAPPY BIRTH DAY SUPERMOON
Catatan Pemotretan "Supermoon" 20 Maret 2011 KOMPAS/ARBAIN RAMBEY
ARBAIN RAMBEY
Bulan purnama istimewa yang terjadi pada 18-21 Maret 2011 lalu sungguh telah menyita perhatian begitu banyak orang. Penyebaran informasinya di internet dan aneka jaringan seluler yang terlalu banyak bumbu pun akhirnya menambah daya tarik untuk menyaksikan bahkan memotretnya. Namun kenyataannya, sebenarnya fenomena yang juga disebut sebagai supermoon ini sekilas tidak berbeda dengan bulan purnama lain. Kalau saja semua informasi itu tidak disebarkan, tak akan ada yang menyadari kehadirannya.
Perhatikan foto B yang seakan sungguh-sungguh foto supermoon tersebut. Mereka beredar di jaringan seluler dan juga e-mail tanpa ketahuan siapa sumber aslinya. Sekilas saja, foto-foto itu langsung kelihatan kepalsuannya. Yang paling utama adalah tidak pernah bulan berada di cakrawala dengan pendar yang begitu terang, di mana pun, bahkan dengan diameter yang begitu besar dibandingkan keadaan sekitarnya.
Foto A yang dihasilkan dalam pemotretan di Palmerah, Jakarta Pusat, pada 20 Maret 2011, pukul 01.11 WIB, tampak besar karena dipotong habis-habisan dari foto yang dihasilkan dari kamera Olympus EPL-1 dengan lensa Nikkor 600 mm/f4, seperti tampak pada foto C.
Terlalu panjang lensanya? Sama sekali tidak!
Lensa 600 milimeter sebenarnya masih terlalu pendek untuk memotret bulan. Perhatikan foto D yang menunjukkan hasil pemotretan bulan purnama (bahkan pada supermoon) memakai lensa 600 mm pada tiga kamera. Ukuran bulan masih terlalu kecil dengan bidang foto yang ada pada ketiga kamera. Untuk memotret bulan dengan detail (memenuhi segenap bidang foto), lensa yang dibutuhkan minimal 1.500 milimeter!
Tidak gelap
Walau malam hari, memotret bulan bukanlah memotret ”kegelapan”. Bulan, terutama saat purnama, memancarkan cahaya yang sangat kuat. Saat supermoon lalu, saya memotret dengan kecepatan rana 1/250 detik dan diafragma 8 pada ISO 200.
Satu hal lain yang tak boleh dilupakan adalah sampai kapan pun permukaan bulan yang menghadap ke bumi adalah permukaan yang selalu sama. Jadi, kalau bulan dipotret pada saat yang sama dari sejumlah tempat berbeda, pasti hasilnya persis sama.
Hasil foto bulan baru akan berbeda antarfotografer manakala posisinya sedang berada tepat tegak lurus di atas. Dengan posisi ini, arah menghadap seorang fotografer akan membedakan foto bulan yang dihasilkannya, seperti tampak pada foto E.
Langganan:
Postingan (Atom)
-
Telaga Sarangan, Wisata Mempesona di Kaki Gunung Lawu Oleh Anida Etikawati (3 Januari 2011) Hasil ekspedisi ke Telaga Sarangan, 1 Januari 20...
-
Kematian di Tangan Narendro Ludiro Seto PARAMITANakula dan Sadewa menghadap Prabu Salya setelah keduanya mengetahui Salya diangkat sebagai ...