Wikipedia

Hasil penelusuran

Sabtu, 07 Desember 2024

Sejarah Penemuan Peniti


 𝗣𝗘𝗡𝗜𝗧𝗜: 𝗕𝗲𝗻𝗱𝗮 𝗞𝗲𝗰𝗶𝗹 𝗨𝗻𝗶𝗸 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝗗𝗶𝘁𝗲𝗺𝘂𝗸𝗮𝗻 𝗚𝗮𝗿𝗮-𝗴𝗮𝗿𝗮 𝗨𝘁𝗮𝗻𝗴


Ada satu benda kecil yang sering kita abaikan, tapi kalau hilang, langsung panik: peniti. Sederhana, murah, dan kayaknya nggak ada apa-apanya. 


Tapi tahukah kamu, benda ini punya cerita seru yang melibatkan kecerdikan, utang, dan sedikit keberuntungan?


Peniti dan Utang Sang Penemu


Semua berawal dari seorang pria bernama Walter Hunt, seorang penemu asal Amerika. Di awal 1800-an, Walter lagi pusing tujuh keliling karena utangnya menumpuk. 


Bayangin aja, kalau dia hidup di zaman sekarang, mungkin dia jadi pelanggan setia aplikasi pinjol. Tapi karena nggak ada aplikasi semacam itu, Walter harus memutar otak mencari cara buat melunasi utangnya.


Nah, suatu hari, dia lagi duduk-duduk sambil main-main dengan seutas kawat. Tanpa sengaja, dia membentuk kawat itu menjadi sesuatu yang menyerupai penjepit kecil dengan ujung tajam yang bisa dikunci. "Eureka!" pikir Walter (atau mungkin dia cuma bilang, "Eh, lucu juga nih!"). Dari eksperimen iseng itu, lahirlah peniti yang kita kenal sekarang.


Walter kemudian mematenkan penemuannya pada tahun 1849. Dan tahu nggak? Dia langsung menjual hak patennya seharga... $400 saja! (Kalau dihitung dengan nilai sekarang mungkin sekitar $10,000!). Lumayan buat bayar utang, tapi sayang banget, dia nggak dapat royalti dari peniti yang kemudian jadi barang populer di seluruh dunia.


Kecil, tapi Punya Banyak Peran


Setelah diciptakan, peniti langsung jadi bintang di berbagai bidang. Di dunia mode, peniti sering digunakan sebagai solusi darurat—kancing copot? Peniti. Jahitan robek? Peniti. Bahkan desainer dunia pun kadang memakai peniti untuk bikin kreasi unik. 


Salah satu momen paling ikonis adalah gaun Versace yang dikenakan Elizabeth Hurley, dihiasi peniti emas besar. Fashion banget, kan?


Nggak cuma di fashion, peniti juga jadi penyelamat di dunia sehari-hari. Bayi pakai popok kain? Pakai peniti. Pasang bros di jilbab? Pakai peniti. Bahkan, peniti juga sering muncul di acara olahraga atau saat darurat. Kecil-kecil cabe rawit!


Filosofi di Balik Peniti


Menariknya, peniti juga bisa menginspirasi hidup kita. Lihat deh desainnya: sederhana, tapi fungsional. Ujung tajamnya yang dilindungi juga mengajarkan kita buat "tajam" dalam pikiran tapi tetap nggak menyakiti orang lain. Kecil, tapi selalu berguna—itu pesan hidup dari peniti buat kita semua.


Jadi, lain kali kamu lihat peniti, jangan anggap remeh benda kecil ini. Di balik kesederhanaannya, ada cerita tentang kreativitas, keberuntungan, dan solusi atas masalah besar. 


Walter Hunt mungkin nggak jadi miliuner karena penemuan ini, tapi dia udah memberi kita alat kecil yang bikin hidup lebih praktis. Terima kasih, Om Walter!


𝗜𝗪𝗗


#KisahInspiratif #𝗽𝗲𝗻𝗲𝗺𝘂𝗮𝗻  #peniti #inspirasi #indratnowidiarto

Kamis, 05 Desember 2024

Sejarah Bahasa Nusantara Historys of Nusantara Langguage

 Rekaman tertua dari Bahasa Austronesia.


Bahasa Austronesia adalah keluarga bahasa yang banyak digunakan di seluruh Asia Tenggara Maritim, bagian dari Daratan Asia Tenggara, Madagaskar, pulau-pulau Samudra Pasifik dan Taiwan (oleh masyarakat adat Taiwan). Mereka berbicara oleh sekitar 328 juta orang (4,4% dari populasi dunia). Ini menjadikannya keluarga bahasa terbesar kelima berdasarkan jumlah penutur. Bahasa Austronesia Utama (sekitar 250–270 juta di Indonesia saja dalam standar sastranya sendiri bernama "Indonesia", Melayu, Jawa, Sunda, Tagalog (standar Filipina) Malagas dan Cebuano. Menurut beberapa perkiraan, keluarga ini mengandung 1.257 bahasa, yang merupakan keluarga bahasa kedua terbanyak.


Cr: SEA Heritage & History


Selasa, 03 Desember 2024

Harga Komodity kopi

 Meneropong Imbas Kenaikan Harga Kopi ke Emiten Barang Konsumen


Pergerakan harga kopi menjadi tantangan bagi MYOR karena berpotensi menekan margin keuntungan. Namun, kabar baik datang dari penurunan harga gandum, yang menyumbang 28% dari total biaya bahan baku ICBP.


Harga kopi dan kakao mencetak rekor tertinggi dalam beberapa dekade terakhir, dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti perubahan iklim, kekeringan, dan ketidakstabilan pasokan di negara-negara penghasil utama. Harga kopi robusta mencapai level tertinggi dalam 45 tahun terakhir.


Lonjakan tersebut dipicu oleh kekurangan pasokan dari produsen utama seperti Brasil dan Vietnam, yang mengalami cuaca buruk serta kenaikan biaya logistik. Selain itu, permintaan yang terus meningkat di pasar global memperburuk situasi ini. Stok kopi dunia dilaporkan turun sekitar 26% menjadi 1,2 juta kantong, yang semakin mendorong kenaikan harga.


“Kondisi ini diperkirakan akan berdampak negatif pada MYOR, karena kopi menyumbang sekitar 13% dari total biaya produksi mereka,” mengutip riset Samuel Sekuritas, Jumat (29/11/2024).


Harga cokelat juga melonjak sebesar 5% dalam seminggu terakhir hingga mencapai USD 9.068 per ton, yang merupakan kenaikan tahunan sebesar 137,6% dan menjadi harga tertinggi dalam 50 tahun terakhir. Lonjakan ini disebabkan oleh banjir besar di Pantai Gading yang memperpanjang musim hujan, sehingga merusak kualitas biji kakao.


Hasil panen terbaru menunjukkan ukuran biji yang lebih kecil dibandingkan standar kualitas premium. Kondisi ini juga membuat stok kakao global berisiko turun ke level terendah dalam 19 tahun terakhir, yang diperkirakan akan memicu kenaikan harga lebih lanjut dan memengaruhi sebagian besar perusahaan yang menggunakan bahan baku kakao.


Di sisi lain, harga minyak kedelai turun sekitar 3,4% dalam lima hari terakhir akibat revisi aturan subsidi untuk bahan bakar nabati dan tingginya stok yang tersedia. Penurunan harga minyak kedelai ini dapat membantu menahan kenaikan harga minyak sawit, yang menjadi kabar baik bagi perusahaan seperti UNVR, ICBP, dan CMRY, yang sangat bergantung pada bahan baku tersebut.


Secara keseluruhan, pergerakan harga kopi dan cokelat yang melonjak dapat menjadi tantangan bagi MYOR karena berpotensi menekan margin keuntungan perusahaan. Namun, kabar baik datang dari penurunan harga gandum, yang menyumbang sekitar 28% dari total biaya bahan baku ICBP.


“Hal ini memperkuat pandangan positif kami terhadap ICBP sebagai salah satu pilihan investasi utama, dengan target harga Rp 14.000 per saham,” ulas Samuel Sekuritas.


Kekeringan di Brasil Mengancam Kenaikan Harga Kopi


Sebelumnya, perkebunan kopi milik Silvio Almeida terletak di ketinggian ideal di lereng bukit Brasil, di mana tanahnya yang kaya tanah liat mampu menahan kelembapan dari hujan dan waduk di dekatnya.


Namun, akhir-akhir ini, air langka di pertanian sederhana Almeida di Caconde, sebuah kota di salah satu daerah penghasil kopi utama di Negara Bagian Sao Paulo. Dia tidak dapat menanam kopinya sebagaimana mestinya.


Di Brasil, produsen kopi terbesar di dunia, Almeida dan petani lainnya mulai bergulat dengan kekeringan terburuk di negara itu dalam lebih dari tujuh dekade dan suhu di atas rata-rata. Almeida berharap dapat memanen 120 karung biji kopi pada musim panen ini, namun malah hanya berhasil memanen 100 karung.


"Mengingat kondisi di sini, panen tahun 2025 sudah terpengaruh," katanya kepada AP, seperti dikutip pada Minggu (22/9/2024) sambil menunjuk ke bagian perkebunannya yang kuncup bunganya mati sebelum mekar.


"Saya tidak akan mengatakan bahwa ini akan gagal karena bagi Tuhan segalanya mungkin terjadi. Namun berdasarkan situasinya, itu sudah terancam."


Musim panen Brasil yang berakhir bulan ini hampir datar dari tahun lalu dan ekspor melonjak, namun menurut laporan Pusat Studi Lanjutan Ekonomi Terapan di sekolah agribisnis Universitas Sao Paulo yang dipublikasikan Senin (16/9), kekeringan yang sedang berlangsung sudah mempersulit dimulainya musim 2025/2026.


Pada saat yang sama, Vietnam, produsen kopi terbesar kedua di dunia, mengalami panas dan kekeringan, yang memengaruhi tanamannya. Potensi kekurangan pasokan di kedua negara, ungkap menurut laporan tersebut, telah mulai menaikkan harga kopi global. 


Biji kopi yang sedang dijemur Kelompok Tani Wanaja Coffee di Laksana, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, 1 Oktober 2024, di sela media trip Tokopedia dan ShopTokopedia. (Liputan6. com/Asnida Riani)


Pasar memantau dengan cermat bagaimana tanaman kopi Brasil bertahan dalam kondisi iklim yang buruk ini, yang dapat menyebabkan bunga berhenti mekar, gagal berubah menjadi ceri atau menghasilkan biji kopi berkualitas rendah, kata Felippe Serigati, yang mengoordinasikan program magister agribisnis di Getulio Vargas Foundation, sebuah universitas di Sao Paulo.


"Ini bisa mengakibatkan panen kopi yang lebih sedikit," tutur Serigati. "Karena pasar cenderung mengantisipasi pergerakan ini, kami telah melihat harga kopi arabika di New York dan robusta di Eropa diperdagangkan pada level yang lebih tinggi."


Harga kopi belum mencapai rekor tertinggi yang pernah terjadi di dunia pada akhir tahun 1970-an, setelah embun beku yang parah memusnahkan 70 persen tanaman kopi Brasil. Namun, harganya telah melonjak dalam beberapa tahun terakhir.


Pada bulan Agustus, Harga Indikator Gabungan Organisasi Kopi Internasional – yang menggabungkan harga beberapa jenis biji kopi hijau – rata-rata USD 2,38 per pon, naik hampir 55 persen dari bulan yang sama tahun lalu.


Rusak Kawasan


Sebagian, harga naik karena permintaan yang lebih tinggi, terutama di Asia. Namun, cuaca juga mendorong kenaikan. Kekeringan, embun beku, dan kebakaran telah merusak seperlima area penanaman produsen kopi arabika di Brasil, kata Billy Roberts, ekonom senior untuk makanan dan minuman di CoBank yang berbasis di Colorado.


"Sepertinya tidak akan membaik dalam waktu dekat. Dibutuhkan curah hujan yang konsisten untuk pulih," ujarnya.


Kebakaran hutan yang tidak terkendali dan disebabkan manusia di seluruh Brasil akhir-akhir ini telah merusak kawasan lindung dan pertanian. Salah satunya melanda Caconde pekan lalu.


Almeida, yang juga seorang guru matematika di sekolah umum setempat, membantu menghitung kerusakan untuk asosiasi regional. Sejauh ini, dia memperkirakan kebakaran telah mempengaruhi 1.282 hektare. Setengahnya adalah Hutan Atlantik asli, 30 persen padang rumput, dan 15 persen perkebunan kopi.


Di tanah milik Almeida sendiri, 2.000 dari 15.000 tanamannya terbakar. Tetangganya, Joao Rodrigues Martins (71), kehilangan segalanya.


Martins memiliki 2.500 tanaman kopi di sebidang tanah kecil, yang sekarang sepenuhnya menghitam karena jelaga. Kopi yang dia jual ke koperasi setempat adalah mata pencahariannya dan juga membayar biaya pengobatan putranya.


Bagi petani kecil, melihat bertahun-tahun penanaman berubah menjadi abu adalah hal yang sulit untuk diperhitungkan. 

(oleh: Pipit Ika Ramadhani,liputan6. com)u

Sejarah Kelapa Sawit









 Sejarah kelapa sawit (Elaeis guineensis) di Indonesia berawal pada tahun 1848, ketika orang Belanda membawa empat biji kelapa sawit dari Bourbon, Mauritius, dan Hortus Botanicus, Amsterdam, Belanda. Keempat biji kelapa sawit itu kemudian ditanam di Kebun Raya Bogor dan ternyata berhasil tumbuh dengan subur. Setelah berbuah, biji-biji dari induk kelapa sawit tersebut disebar ke Sumatra.


Kelapa sawit (Elaeis guineensis) bukan tanaman asli Indonesia. Tanaman ini merupakan tanaman asli dari Afrika Barat dan Afrika Tengah.[1] Di Indonesia, sejarah kelapa sawit berawal dari empat biji kelapa sawit yang dibawa oleh Dr. D. T. Pryce,[2] masing-masing dua benih dari Bourbon, Mauritius dan dua benih lainnya berasal dari Hortus Botanicus,[3] Amsterdam, Belanda, pada tahun 1848.

Empat biji kelapa sawit tersebut kemudian ditanam di Kebun Raya Bogor yang ketika itu dipimpin oleh Johanes Elyas Teysman dan berhasil tumbuh dengan subur.[5] Di Kebon Raya Bogor, pohon kelapa sawit tersebut tumbuh tinggi dengan ketinggian 12 meter dan menjadi pohon kelapa sawit tertua di Asia Tenggara.[6] Namun, pada 15 Oktober 1989, induk pohon kelapa sawit itu mati.


Pada tahun 1853 atau lima tahun setelah ditanam, pohon kelapa sawit di Kebon Raya Bogor menghasilkan buah. Biji-biji kelapa sawit itu kemudian disebar secara gratis, termasuk dibawa ke Sumatra pada tahun 1875,[1] untuk menjadi tanaman hias di pinggir jalan.[3] Tidak disangka, ternyata kelapa sawit tumbuh subur di Deli, Sumatera Utara, pada tahun 1870-an, sehingga bibit-bibit kelapa sawit dari daerah ini terkenal dengan nama kelapa sawit "Deli Dura".[6]

Semula, orang-orang Belanda tidak terlalu menaruh perhatian besar terhadap kelapa sawit. Mereka lebih mengenal minyak kelapa. Namun, revolusi industri (1750–1850) yang terjadi di Eropa, mendorong terjadinya lonjakan permintaan terhadap minyak. Hal ini mendorong pemerintahan Hindia Belanda mencoba melakukan penanaman kelapa sawit di beberapa tempat. Percobaan penanaman kelapa sawit pertama kali dilakukan di Karesidenan Banyumas antara tahun 1856 hingga 1870, namun tidak menghasilkan minyak yang baik meski berbuah empat tahun lebih cepat dibandingkan di Afrika yang membutuhkan waktu 6–7 tahun. Selanjutnya, percobaan penanaman kedua dilakukan pemerintahan Hindia Belanda di Palembang, di Muara Enim tahun 1869, Musi Ulu tahun 1870, dan Belitung tahun 1890. Namun, hasilnya masih kurang baik, karena cuaca di Palembang, yang tidak cocok. Hal yang sama juga terjadi di Banten, meski coba dilakukan perkebunan kelapa sawit pada tahun 1895.[3]


Kehadiran perusahaan-perusahaan perkebunan asing juga didorong oleh pemberlakuan UU Agraria (Agrarisch Wet) oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1870. Undang-undang ini memberikan konsesi berupa hak guna usaha atau hak erfpacht kepada para pemodal asing.[7]


Perkebunan kelapa sawit berskala besar kemudian dibuka untuk pertama kalinya pada tahun 1911 oleh perusahaan yang didirikan oleh Adrien Hallet asal Belgia dan K. Schadt di Pantai Timur Sumatra (Deli) dan Sungai Liat, Aceh, melalui perusahaannya yang bernama Sungai Liput Cultuur Maatschappij,[3] dengan luas 5.123 hektare.[6]


Pada tahun 1911 tercatat ada tujuh perusahaan perkebunan kelapa sawit, yakni Onderneming Soengei Lipoet, Onderneming Kuala Simpang, N.V Moord Sumatra Rubber Maatschappij, Onderneming Soengei Ijoe, Tanjung Suemanto', Batang Ara, dan Mopoli, yang sebagian besar memiliki kebun-kebun karet. Di Aceh Timur pada tahun 1912 terdapat 18 konsesi perkebunan karet dan kelapa sawit dan kembali bertambah menjadi 20 perusahaan perkebunan pada tahun 1923, dengan rincian 12 adalah perusahaan perkebunan karet, tujuh perkebunan kelapa sawit dan satu perkebunan kelapa.[8]


Pada tahun 1910, organisasi perusahaan perkebunan bernama Algemene Vereneging voor Rubberpalnters ter Oostkus van Sumatera (AVROS), berdiri di Sumatera Utara dan Rantau Panjang, Kuala Selangor.[6] AVROS merupakan organisasi yang menaungi berbagai macam perusahaan perkebunan dengan didasari kepentingan yang sama, yakni menyikapi persoalan yang timbul, seperti kekurangan pekerja perkebunan, menjalin hubungan dengan sesama pengusaha dan komunikasi dengan pemerintah, dan permasalahan transportasi


Plantation Nord Sumatra (PNS Ltd) sebesar 60% dan Republik Indonesia sebesar 40%. Setelah itu, Socfindo baru kembali membuka lagi area perkebunan baru di Sumatera Utara, yakni di Bangun Bandar/Tanjung Maria dan Aek Loba/Padang Pulo (1970), Aek Pamienke (1979), dan Tanah Gambus/Lima Puluh (1982).[15] Kepemilikan saham tersebut kembali berubah menjadi PNS Ltd 90% dan Republik Indonesia sebesar 10% pada tahun 2001.[15]


PP London Sumatra Indonesia

sunting

Perusahaan Perkebunan London Sumatra Indonesia (dikenal dengan Lonsum) berdiri pada tahun 1906 oleh Harrisons & Crosfield Plc yang berbasis di London, Inggris. Meski sudah memiliki diversifikasi perkebunan tanaman karet, teh, dan kakao, Lonsum pada awal kemerdekaan masih mengkonsentrasikan lini bisnisnya pada tanaman karet, sedangkan kelapa sawit baru mulai produksi pada tahun 1980-an.[17]


Pada tahun 1994, Harrisons & Crosfield menjual 100% kepemilikan sahamnya di Lonsum kepada PT Pan London Sumatra Plantation. Indofood Agri Resources Ltd melalui PT Salim Ivomas Pratama kemudian menguasai Lonsum pada Oktober 2007


Bakrie Sumatera Plantations adalah perusahaan perkebunan kelapa sawit yang berdiri pada tahun 1911 dengan nama Naamlooze Vennootschap Hollandsch Amerikaansche Plantage Maatschappij, yang awalnya adalah perusahaan perkebunan karet. Pada tahun 1957, nama perusahaan berganti nama menjadi PT United States Rubber Sumatera Plantations setelah diakuisisi oleh Uniroyal Inc.[18]


Selanjutnya, pada tahun 1965, pemerintah Indonesia melakukan nasionalisasi terhadap PT United States Rubber Sumatera Plantations. Pada tahun 1985, nama perusahaan berganti menjadi PT Uniroyal Sumatera Plantations (UNSP) dan setahun kemudian sebanyak 75% saham perusahaan diakuisisi oleh PT Bakrie & Brothers. Nama perusahaan pun berganti nama menjadi PT United Sumatera Plantations dan tahun 1992 kembali berganti nama menjadi PT Bakrie Sumatera Plantations.[18]


Meski awalnya adalah perusahaan perkebunan karet, PT Bakrie Sumatera Plantations pada tahun 2019 hanya memiliki area kebun karet seluas 16.532 hektare di Sumatera Utara melalui PT BSP Kisaran, Bengkulu seluas 2.610 hektare melalui PT AMR, dan di Lampung seluas 3.331 hektare melalui PT HIM.[18]


Per September 2019, PT Bakrie Sumatera Plantations memiliki area perkebunan inti kelapa sawit yang telah ditanami seluas 43.262 hektare di Sumatera Utara melalui PT BSP Kisaran (9.924 hektare) dan PT GLP (7.626 hektare); di Sumatera Barat melalui PT BPP (8.820 hektare) dan PT CCI (1.965 hektare); di Jambi melalui PT AGW (4.387 hektare) dan PT SNP (6.111 hektare); dan di Kalimantan Selatan melalui PT MIB seluas 4.429 hektare. Adapun perkebunan plasma seluas 14.976 hektare, dengan rincian seluas 6.347 hektare di Sumatera Barat melalui PT BPP, 7.701 hektare di Jambi melalui PT AGW, dan 928 hektare di Jambi melalui PT SNP.[18]


Perusahaan memiliki lima pabrik pengolahan kelapa sawit, berkapasitas 225 metrik ton, masing-masing dua pabrik di Sumatera Utara, satu pabrik di Sumatera Barat, dan dua pabrik di Jambi. Selain itu ada lima pabrik pengolahan oleo chemical, yakni satu pabrik pengolahan Fatty Acid FSC berkapasitas 52.800 metrik ton per tahun di Tanjung Morawa, Sumatera Utara dan empat pabrik pengolahan fatty acid di Kuala Tanjung, Sumatera Utara, yakni fatty acid I berkapasitas 99 ribu metrik ton/tahun, pabrik pengolahan fatty alcohol I berkapasitas 33 ribu metrik ton/tahun, pabrik pengolahan fatty acid II berkapasitas 82.500 metrik ton/tahun, dan pabrik pengolahan fatty alcohol II berkapasitas 99 ribu metrik ton/tahun.[18


#galerisawit

#seharahsawit

Pabrik Gula Porwodadi Magetan 1832

 Sejarah Singkat 


    

Pabrik Gula Poerwodadie didirikan oleh Pemerintah Hindia Belanda pada tahun1832 yang saat itu bernama “ Nederlands Hendel Maatschapij ” (NHM) dan berlokasi di Desa Pelem, Kecamatan Karangrejo, Kabupaten Magetan, Karesidenan Madiun. Pada tahun 1959 diambil alih Pemerintah Republik Indonesia dan pengelolaannya diserahkan kepada Perusahaan Perkebunan Negara (PPN), selanjutnya pada tahun 1967 berubah menjadi PPN Baru yang dipimpin oleh seorang Direktur.

Berdasarkan PP No. 14/tahun 1968 pada tahun 1968 statusnya diubah menjadi Perusahaan Perkebunan Negara (PPN) yang membawahi beberapa Pabrik Gula di satu karesidenan dengan nama “Inspeksi Perusahaan Perkebunan Negara”. Sejak tahun1968 itu pula Pabrik Gula Poerwodadie yang terletak satu karesidenan dengan Pabrik Gula Soedhono, Pabrik Gula Redjosarie,  Pabrik Gula Pagottan, dan Pabrik Gula Kanigoro bergabung dalam satu badan hukum yaitu Perusahaan Negara Perkebunan XX (PNP XX) yang dipimpin oleh Direksi dan berkantor pusat di Surabaya.

Status PNP berubah menjadi Perseroan Terbatas (Persero) pada tahun 1985 dan PNP XX berubah menjadi PT Perkebunan Nusantara XX (Persero). Pada tanggal 11 Maret 1996 PTP XX (Persero) bersama PTP lainnya dibubarkan. Berdasarkan PP No. 16/1996 tanggal 14 Februari 1996 dibentuk PTP Nusantara XI(Persero) yang merupakan gabungan eks PTP XX (Persero) dengan PTP XXIV-XXV(Persero). PTP Nusantara XI (Persero) dipimpin oleh Direksi yang berkedudukan di Jalan Merak No. 1 Surabaya hingga saat ini.

























* Foto karya Sastradi Nugroho Maharto 


Banner 728x90px