Wikipedia

Hasil penelusuran

Kamis, 12 September 2024

Kisah Calon Arang

 Calon Arang merupakan cerita rakyat yang berkembang di tanah Jawa dan Bali. Dalam tradisi Jawa, embrio kisah ini tertulis dalam naskah lontar bertarikh 1540 M, naskahnya berkode LOR 5387/5279, dan berangka tahun saka 1462, hingga kini, naskah tersebut masih tersimpan apik di perpustakaan nasional. Sementara dalam tradisi Bali, kisah calon arang dipertahankan dalam grubug atau geguritan, yaitu tradisi lisan yang dihidupkan dari mulut ke mulut atau dalam tataran akademis disebut dengan folk literature. Dalam periode kekinian, cerita Calon Arang merupakan cerita rakyat yang paling banyak dikisahkan kembali dalam berbagai genre, seperti novel, drama, komik, sendratari, bahkan film animasi.

Embrio kisah calon arang yang tertulis dalam lontar dan dipertahankan dalam tradisi lisan, secara terang-terangan mengutuk Calon Arang sebagai sosok janda jahat tukang teluh. Diceritakan di sebuah desa terpencil bernama Girah hidup seorang janda bernama Calon Arang. Ia mempunyai anak perempuan yang teramat cantik bernama Ratna Manggali. Berkat kecantikannya, Ratna Manggali berhasil memikat pemuda desa, namun sayang mereka tidak berani meminang lantaran Calon Arang dikenal sebagai janda jahat yang suka menebar teluh.

Dari anggapan warga Desa Girah ini, munculah label yang dilekatkan bahwa Ratna Manggali sebagai perempuan yang tidak laku. Mendengar gunjingan itu, Calon Arang marah dan meneluh seluruh warga Desa Girah. Raja Airlangga kemudian turun tangan dan memerintahkan Mpu Baradah untuk menghabisi Calon Arang yang dianggap sebagai biang keladi dari kekacauan yang terjadi di Desa Girah. Calon Arang pun mati di tangan Mpu Baradah setelah sempat moksa dan menjelma durga.

Munculnya berbagai genre yang mengisahkan kembali cerita Calon Arang kemudian melahirkan berbagai tafsir baru tentang sosok Calon Arang itu sendiri. SendratariCalon Arang misalnya, garapan tari kreasi yang biasa dipentaskan dengan latar budaya Bali ini memunculkan skemata calon arang yang berbeda dengan apa yang diceritakan dalam embrio kisah tersebut.

Lahirnya berbagai bentuk tafsir tentang sosok Calon Arang yang diadopsi ke dalam berbagai pementasan tari kreasi tidak lepas dari struktur masyarakat Bali yang lentur dalam memandang seni tradisi. Tidak mengherankan jika sosok Calon Arang mengalami jungkir balik imaji, dari tokoh antagonis menjadi simbol perlawanan kaum perempuan. Dalam sendratari dengan latar budaya Bali, Calon Arang menemukan bentuknya yang baru, tidak lagi menjadi korban dan dikorbankan. Kini, Calon Arang merupakan simbol kekuasaan perempuan walau tanpa mahkota.

Sebagai garapan kreasi, sendratari Calon Arang tidak lepas dari esensi tari Bali dengan gerakannya yang luwes namun bertenaga. Dipadukan dengan pakaian tradisional Bali yang sudah dimodifikasi lengkap dengan balutan kain batik bercorak Bali di bagian bawahnya. Tata rias dibuat untuk mempertegas garis-garis muka sehingga nampak seperti tata rias karakter. Tidak jarang, penari mengeluarkan sledet sebagai bentuk khas dari tari Bali. Sementara, musik yang mengiringi berasal dari suara gamelan Bali yang dipadukan dengan berbagai alat musik modern lainnya. Untuk menambah unsur dramatis, ketika moksa, Calon Arang menggunakan topeng berwujud leak dengan kuku-kukunya yang panjang menjuntai.

Sendratari Calon Arang lebih dari sekadar garapan kreasi. Di dalamnya terkandung sebuah counter culture kaum perempuan yang selama ini teropresi oleh filsafat maskulinisme. Calon Arang di tangan seniman Bali tidak melulu menjadi sesuatu yang sakral dan ajeg, tetapi juga bisa sebagai tontonan bersifat profan dan menghibur. Tidak lengkap rasanya jika ke Bali belum menyaksikan sendratari yang mengangkat kembali cerita rakyat 

Jumat, 06 September 2024

Warok Suromenggolo Geger Ponorogo

 Kadipaten dan Rahasia Kematian Warok Suromenggolo 


Menurut Babad Ponorogo Raden Bethara Katong mempunyai 5 istri yaitu: 


1. Sang Permaisuri Putri Adi Kaliwungu dari Demak    sumare ing Setono

2. Putri dari Loano, Bagelen sumare ing Setono

3. Putri Pamekasan, Madura sumare ing Setono

4. Dyah Roro Ayu Niken Gandini, putri Ki Ageng Kutu Ponorogo

5. Putri Kuning putri dari Ki Buyut Wono dari Kertosari. 


Sebelum wafatnya Bathara Katong telah berwasiat kepada 5 istrinya: "Besok jika saya meninggal dunia, kalian jangan menikah dengan orang lain. Dan jika ada yang melakukannya, maka ia tidak boleh dimakamkan di dekat makam saya." 


Istri ke 4 Bathara Katong Dyah Ayu Rara Niken Gandini putri dari Wengker mempunyai seorang adik yang bernama Ki Suromenggolo, seorang warok terkenal putra Ki Ageng Kutu dari Wengker musuh dari Bathara Katong yang akhirnya menjadi abdi setia Bathara Katong dan diangkat sebagai demang di Kertosari. Sang Warok ditugaskan untuk menjaga kelima istrinya khususnya Putri Kuning yang paling muda. 


Warok Suromenggolo adalah murid utama dari Ki Singobowo (Raden Singosari) seorang bangsawan dari Kadipaten Loano, Bagelen, pamomong istri kedua Bathara Katong yang dimintai bantuan bersama Eyang Joyodrono dan Joyodipo menghadapi Ki Ageng Kutu yang terkenal sakti mandraguna. Pasca wafatnya Bathara Katong beliau madeg pandito bertapa di Argowilis, dikenal dengan sebutan Ki Ajar Singobowo, Mahaguru para warok ternama di Ponorogo yaitu Warok Suromenggolo, Warok Surohandoko, Warok Gunoseco, Warok Singokobra dan Warok Honggojoyo. 


Sepeninggal Bathara Katong, kedudukan Adipati Ponorogo diteruskan oleh sang putra menantu yang masih belia, yaitu Adipati Panembahan Agung putra Pangeran Tumapel (Sayyid Maulana Hamzah) putra Sunan Ampel dengan didampingi oleh adik Bathara Katong dari satu ibu yang bernama Raden Bondan Surati yang diangkat sebagai Bupati Nayoko Kadipaten Ponorogo. Raden Bondan Surati mempunyai adik satu ibu lain ayah yaitu Dewi Pandansari putra Pandito Wilohandoko dari gunung Pandan daerah Kendeng. Pandito Wilohandoko merupakan kakak dari Ki Cangkrangwojo dan Ki Sabuk Alu. 


Dikisahkan pasca wafatnya Bathara Katong, keempat istri beliau selalu mengingat dan menaati wasiat beliau agar tidak menikah lagi. Tetapi Putri Kuning yang masih muda dan sedang bergairah dalam perjalanan waktu diam-diam membangun hubungan cinta dengan Raden Bondan Surati yang juga masih muda dan tampan. Kedua insan yang dimabuk cinta itu sering mencuri-curi waktu bertemu di taman keputren di malam bulan purnama untuk memadu kasih. 


Untuk itu Raden Bondan Surati menyamarkan diri dengan memakai pakaian hitam dengan bercadar melompati pagar keputren. Para emban dan wanita keputren yang melihat bayangan hitam mengiranya genderuwo yang memasuki taman keputren. Mereka pun ketakutan dan masuk kamar keputren. Raden Bondan Surati pun segera menemui Putri Kuning yang telah menunggunya di bawah pohon di taman keputren. Keduanya pun bercumbu rayu dengan aman. 


Kelakuan keduanya sebenarnya telah diketahui oleh Ki Suromenggolo yang ditugasi menjaga para istri dan keluarga Bathara Katong. Ki Suromenggolo telah menasehati Putri Kuning untuk tidak melanggar wasiat sang suami dengan menjalin hubungan dengan Raden Bondan Surati, adik Bathara Katong yang nantinya akan mencoreng nama baik Kadipaten. Tapi nafsu dan gairah yang membuncah dan tidak bisa lagi dibendung membuat Putri Kuning tidak mau mendengar nasihat Ki Suromenggolo. 


Bahkan karena adanya halangan dari Ki Suromenggolo, Putri Kuning berniat menghabisi Ki Suromenggolo dengan caranya sendiri agar tujuannya menjalin hubungan dengan Raden Bondan Surati bisa berhasil. Putri Kuning berusaha menghasut dan mengadu domba Raden Bindan Surati dengan Ki Suromenggolo dengan mengatakan bahwa Ki Suromenggolo akan memperkosanya di kamar Keputren. 


Raden Bondan Surati yang telah terprovokasi dengan mudah diperalat untuk menghabisi Ki Suromenggolo dengan menyewa orang bayaran. Sesuai arahan Putri Kuning, Bondan Surati menemui para bromocorah dari gunung Pegat, anak buah Warok Surogentho musuh bebutan Suromenggolo yang telah dibunuh sebelumnya. Mereka adalah Warok Suro Bacok, Suro Jegol, Suro Jugil. Dengan iming-iming segepok uang dan cincin Putri Kuning dengan ucapan bahwa bila mereka tidak membunuh Ki Suromenggolo, maka ia yang akan menghabisi mereka. 


Ketiganya menyanggupi untuk menghabisi Ki Suromenggolo. Setelah mempertimbangkan hari naas Suromenggolo dan naas mereka sendiri dan pembagian tugas yang matang, eksekusi harus selesai pada suatu malam yang telah ditentukan lewat perhitungan yang matang sebelum jam satu malam. Suro Bacok bertugas sebagai tukang sirep, Suro Jegol bertugas menggangsir tanah, Suro Jugil sebagai pengawas. Pekerjaan dimulai jam 11 malam. Menjelang jam 1 malam mereka telah berhasil menjebol masuk kamar Suromenggolo lewat bawah tanah. 


Tetapi naas, Ki Suromenggolo yang sedang tidur mendengkur dengan kewaskitaanya terbangun dan berhasil membekuk ketiga anak buah Warok Surogentho dalam suatu pertarungan yang mematikan. Ketiganya pun akhirnya takluk menyerah dan meminta ampunan kepada sang warok. Ki Suromenggolo pun dengan lapang dada mengampuni mereka dan menjadikan ketiganya sebagai abdi dan pengawal setianya. Ketiganya pun akhirnya membuka otak rahasia siapa yang menyuruh. 


Melihat usahanya gagal, Raden Bondan Surati pergi ke Argolawu berguru kepada Sunan Lawu yang tidak lain adalah Raden Gugur, kakaknya sendiri yang memerintahkan untuk lelaku selama 40 hari 40 malam. Kemampuannya pun meningkat drastis tetapi keinginannya untuk menyingkirkan warok Suromenggolo tidak direstui Sunan Lawu karena Suromenggolo hanya menjalankan perintah Bathara Katong, kakaknya sendiri untuk menjaga keluarga dan istri-istrinya. 


Sepulang dari Argolawu, Raden Bondan Surati segera pulang ke Kadipaten Ponorogo menemui Putri Kuning di Keputren untuk melampiaskan rasa rindunya dan menceritakan semua pengalamannya di gunung Lawu bersama kakaknya Sunan Lawu yang tidak mau merestui langkahnya untuk menghabisi warok Sumenggolo. Beliau tidak mempercayai tindakan buruk yang dilakukan Ki Suromenggolo terhadap Putri Kuning,  janda kakaknya Bathara Katong. 


Ketika hendak keluar kaputren, Raden Bondan Surati yang masuk dengan menyamar sebagai genderuwo memakai pakaian serba hitam langkahnya tiba-tiba dihadang para prajurit yang ditugaskan Warok Suromenggolo menjaga Kaputren. Dengan penuh percaya diri dengan kemampuan yang baru didapatnya dari Sunan Lawu, para prajurit dengan mudah dikalahkan dan dibinasakan oleh Raden Bondan Surati. 


Tetapi sebelum keluar dari gerbang Kaputren, langkahnya dicegat oleh Warok Suromenggolo dan terjadilah pertarungan dahsyat diantara keduanya. Karena merasa jumawa dengan kemampuannya, Raden Bondan Surati lengah dan naas pun tak dapat dihindarkan, golok Ki Suromenggolo dengan cepat menebas leher Raden Bondan Surati dan tubuhnya ambruk ke tanah. Kaputren pun geger dengan jatuhnya sosok genderuwo yang sering masuk taman keputren yang tidak lain adalah Raden Bondan Surati. 


Pada suatu waktu, dalam satu pisowanan di Kadipaten Ponorogo, Ratu Kuning meminta kejelasan terkait kematian Raden Bondan Surati ditangan Warok Suromenggolo. Adipati Panembahan Agung menjawab bahwa permasalahan telah selesai ditangani secara kekeluargaan oleh para pinisepuh Kadipaten. Tetapi Ratu Kuning minta Ki Suromenggolo tetap diajukan di depan pengadilan untuk membuktikan diri. 


Ditengah perdebatan tentang keruwetan permasalahan Kadipaten datanglah 3 orang keluarga Raden Bondan Surati dari gunung Pandan yaitu Dewi Pandansari putri Pandito Wilohandoko, Ki Cangkrang Wojo dan Ki Sabuk Alu yang berargumen bila Raden Bondan Surati memang bersalah seharusnya dibuktikan dulu di pengadilan bukan langsung dibunuh oleh Warok Suromenggolo tanpa adanya bukti yang meyakinkan terlebih dahulu. 


Akhirnya Ki Suromenggolo pun diajukan ke pengadilan dengan dakwaan telah membunuh Raden Bondan Surati tanpa melalui putusan pengadilan. Suromenggolo memberikan alasan bahwa perilaku Raden Bondan Surati memasuki kaputren memasuki ruang Putri Kuning dengan menyamar sebagai genderuwo telah dilakukan beberapa kali sebelumnya dan langkah para prajurit hanya menjaga kaputren. Adapun langkahnya melawan Raden Bondan Surati pun setelah diserang terlebih dahulu oleh Raden Bondan Surati. 


Sebagai tambahan bukti, Warok Suromenggolo pun membawa saksi tiga warok gunung Pegat tentang konspirasi Ratu Kuning dan Raden Bondan Surati untuk membunuhnya dengan membawa bukti kedua cincin Putri Kuning dan Bondan Surati serta uang yang diberikan sebagai upah kepada ketiganya untuk membunuhnya. Adanya bukti kedua cincin tersebut membongkar skandal hubungan asmara keduanya yang menyebabkan rasa malu yang sangat bagi Ratu Kuning dan membuatnya pingsan di tengah pengadilan. 


Penyelidikan lebih lanjut menghasilkan satu putusan pengadilan, Warok Suromenggolo bebas dari tuntutan, sedangkan Putri Kuning yang terbukti sebagai otak dari semua rencana yang menyebabkan terbunuhnya Raden Bondan Surati dan para pengawal Kadipaten diputus bersalah dan dikenakan hukuman mati. Namun Ki Suromenggolo beserta Adipati Panembahan Agung meminta keringanan hukuman, Putri Kuning dikeluarkan dari Kadipaten untuk dikembalikan ke Wonokerto. 


Tetapi ada yang tidak terima dengan pengadilan putusan pengadilan tersebut. Pandansari maju kedepan menantang Warok Suromenggolo untuk bela pati pada kakaknya. Maka terjadilah pertarungan hebat di alun-alun Kadipaten. Keris Pandansari yang ditusukkan berkali-kali kearah badan Suromenggolo tidak mempan dan akhirnya ruyung Suromenggolo yang menyambar dan mengenai kepala Dewi Pandansari dan menghempaskankannya keatas tanah. 


Melihat pertarungan yang tidak seimbang, sang paman Ki Cangkrang Wojo segera terjun ke arena pertempuran menghadapi Warok Suromenggolo yang sama-sama sakti, tetapi warok Suro Jegol menghadangnya dan terjadilah pertempuran sengit antara keduanya. Akhirnya Suro Jegol berhasil dibanting, dipiting dan ditekak oleh Ki Cangkrang Wojo. Dan dengan senjatanya Ki Cangkrang Wojo mengakhiri hidup Ki Suro Jegol. 


Ki Cangkrang Wojo kemudian menyentuh kepala Dewi Pandansari yang membuatnya langsung tersadar dan keduanya segera mengeroyok Warok Suromenggolo yang membuatnya terdesak kewalahan. Mengetahui situasi tersebut dari arah yang tidak diduga muncul Ki Singobowo dengan jungkir 3x di atas tanah, berubah menjadi harimau yang amat besar menyerang Dewi Pandansari, menggigit lehernya dan membawanya ke area persawahan disebelah timur alun-alun Kadipaten Ponorogo. Tepat disebelah barat hutan Siredong tubuh Pandansari dicabik-cabik oleh harimau Ki Singobowo. Tempat tersebut kemudian dikenal sebagai dukuh Pandansari. 


Melihat hal tersebut Ki Sapu Alu turun ke medan pertempuran mengeroyok Suromenggolo tetapi segera dihadapi oleh Ki Suro Jugil. Ki Sapu Alu segera membereskan Ki Suro Jegol, senjata Ki Sapu Alu segera menembus perut Ki Suro Jegol dan tewas seketika. Ki Suro Bacot yang tidak memegang senjata tak berani melawan. Maka Ki Sabuk Alu dan Ki Cangkrang Wojo segera mengeroyok Ki Suromenggolo untuk dihabisinya. 


Merasa terdesak Ki Suromenggolo kemudian menjejakkan kakinya tiga kali ke tanah memanggil ruh Ki Joyodrono, guru rohaninya. Kekuatan Ki Suromenggolo tiba-tiba meningkat berlipat-lipat. Ki Cangkrang Wojo dipegang, dibanting dan dilempar ke arah timur, jatuh di sekitar wilayah telaga Ngebel. Adapun Ki Sabuk Alu dibanting dan dilempar ke arah barat dihutan Sukorejo. 


Adapun Putri Kuning pada akhirnya wafat di Kertosari dan jenazahnya hendak dimakamkan di makam Setono disamping suaminya Bathara Katong,  namun liang lahatnya tidak pernah cukup untuk menampung jenazah Putri Kuning sebagai isyarat ditolaknya Ratu Kuning di makamkan di Setono. Pada akhirnya jenazah Putri Kuning dimakamkan di Wonokerto di belakang masjid Kertosari. 


Pasca kematian Putri Kuning, Niken Gandini, istri keempat Bathara Katong menemui adiknya Warok Suromenggolo dan disampaikan akan akhir pengabdiannya di Kadipaten Ponorogo. Diceritakannya akan desus-desus yang beredar di lingkungan Dalem Kadipaten tentang kematian Raden Bondan Surati di usia yang masih muda oleh adiknya sendiri Ki Suromenggolo. 


Mendengar cerita tersebut lemaslah Warok Suromenggolo, pendekar digdaya andalan Kadipaten Ponorogo yang tak pernah pilih tanding. Ia merasa tersudutkan dan merasa malu yang tak tertanggungkan dengan beredarnya desas-desus tersebut di Dalem Kadipaten. Ki Suromenggolo lebih memilih pati daripada menanggung rasa malu. Ki Singobowo dari Argowilis yang mengetahui kondisi murid kinasihnya datang menemuinya dan memberi isyarat akan akhir hidupnya. Ki Suromenggolo membuang seluruh senjata dan pusaka yang melekat pada badannya, Ki Suromenggolo pun segera bersuci lahir batin menghadapkan dirinya menghadap Sang Pencipta. 


Pada bulan Sabtu di bulan Ruwah, Ki Suromenggolo membaringkan tubuhnya terlentang, kepalanya di sebelah timur. Ia menyuruh kakaknya Niken Gandini untuk membawakan kinang. Dengan tenang Ki Suromenggolo menarik nafas mengucap dua kalimat syahadat. Niken Gandini pun segera tanggap menusukkan sadak kinang ke tenggorokannya. Ki Suromenggolo pun wafat. Jenazahnya dimakamkan di belakang masjid Kertosari di makam Gedong Kertosari bersama Putri Kuning sesuai wasiat Bathara Katong untuk selalu mendampinginya. 


Untuk Raden Bathara Katong, Kelima Istri Beliau dan Para Pengikut Setianya, Lahumul Fatihah...... 


Sumber: 


Pureowijoyo, Babad Ponorogo jilid ll

https://youtu.be/n3qRCLo9bg0

https://youtu.be/-5p9CcsAsxw

https://youtu.be/vK7Qefzl-zU

Channel Youtube Purbo Sasongko 


#batharakatong #sejarahnusantara #sejarahwarok

#warok #suromanggolo #waroksuromanggolo

#radenbatharakatong #kisingobowo #radensinghosari





Perjalanan ini








































 

Minggu, 01 September 2024

Bukti Bahwa Indonesia Nusantara Hebat


 LIMA KITAB KUNO YANG MENJADI BUKTI BAHWA NUSANTARA HEBAT DI MASA LALU


1). KITAB NEGARA KERTAGAMA


Negara kertagama memiliki arti Negara dengan tradisi ( agama ) yang suci. 

Kitab ini pertama kali ditemukan di tahun 1894 di istana Raja Lombok. Seorang peneliti bernama J.L.A Brandes menyelamatkannya sebelum di bakar bersama seluruh buku di perpustakaan kerajaan. Naskah ini adalah naskah tunggal yang berhasil ditemukan dan selamat setelah selesai di tulis pada tahun 1365.


Kitab ini ditulis oleh empu Prapanca yang merupakan nama samaran dari Dang Acarya Nadendra. Seorang bekas pembesar agama Buddha di Kerajaan Majapahit saat Prabu Hayam Wuruk berkuasa. Kitab yang merupakan syair kuno Jawa atau kakawin ini menceritakan kejayaan Kerajaan Majapahit saat itu. Salah satu tentang daerah kekuasaan dan juga silsilah keluarga raja. Penemuan kitab ini menjadi bukti jika di masa lalu,Nusantara pernah dikuasai kerajaan hebat dengan tradisi kelas tinggi.


2). KITAB SUTASOMA


Kitab Sutasoma adalah sebuah kakawin atau syair Jawa Kuno yang berisi banyak bait. 

Orang yang  menggubah kitab ini hingga terkenal sampai sekarang adalah Empu Tantular. Ia disuruh oleh Hayam Wuruk yang saat itu masih menjadi raja. Kitab ini berisi banyak sekali hal hebat yang masih dipakai sampai sekarang. 

Anyway,tahukah anda jika semboyan negara kita ini diambil dari kitab yang dibuat pada abad ke-14 itu

" Bhinneka Tunggal Ika " yang berarti berbeda tapi tetap satu jua adalah petikan bait dari kitab ini. Karya sastra ini juga berisi banyak sekali pelajaran yang berharga. Salah satunya ada mengajarkan toleransi beragama. Sesuatu yang saat ini sudah mulai luntur. 

Jika kitab ini masih diajarkan sampai sekarang,mungkin Indonesia akan jadi negara yang damai. Tak ada perpecahan seperti yang sekarang terjadi.


3). KITAB ARJUNA WIWAHA


Arjuna Wiwaha adalah sebuah karya sastra kuno yang dibuat dan digubah pertama kali pada abad ke-11 masehi. Seorang empu bernama " Kanwa " menulisnya saat masa pemerintahan Prabu Airlangga yang menguasai Jawa Timur sekitar tahun 1019-1042. Sastra ini menjadi pusaka berharga karena menjadi bukti peradaban manusia zaman dahulu yang ternyata sudah maju. Bahkan mengenal baca tulis meski hanya kalangan tertentu saja.

Kitab Arjuna Wiwaha 


Kitab yang lagi-lagi berupa kakawin ini berisi syair mengenai perjuangan Arjuna. Sebuah tokoh pewayangan yang sangat hebat. 

Di kisahkan Arjuna sedang bertapa di Gunung Mahameru. Dewa mengujinya dengan mengirim tujuh bidadari yang sangat cantik. Bidadari itu disuruh menggodanya,namun Arjuna lulus godaan.Akhirnya Arjuna disuruh melawan raksasa yang mengamuk di kayangan.Karena berhasil ia boleh mengawini tujuh bidadari yang menggodanya tadi.


4). SERAT CENTHINI 


Atau dengan nama lain Suluk Tembang raras adalah sebuah karya sastra terbesar dalam kasusastran Jawa Baru. Di dalam kitab ini banyak sekali tersimpan tradisi,ilmu pengetahuan,dan banyak hal yang saat itu dikhawatirkan akan punah. 

Adalah Pakubuwana ke-V yang memiliki ide menghimpun segala budaya dan tradisi dari Jawa ini menjadi sebuah serat yang berisi tetembangan.


Serat Centhini 

Diperkirakan serat ini dikerjakan pada pertengahan abad ke-18 hingga awal abad ke-19. Pakubuwana ke-V dibantu tiga orang pujangga istana merangkum semua hal agar tidak punah.Pujangga kerajaan ini disuruh berkelana dan menuliskan semuanya yang berkaitan dengan kebudayaan dan juga tradisi lokal. Saat ini Serat Centhini telah digubah dan dibuat versi modern oleh beberapa orang. Bahkan ada yang membuatnya dalam versi novel trilogi agar mudah dicerna.


5) LA GALIGO


La Galigo adalah karya sastra paling panjang di dunia saat ini. Berisi sekitar 6.000 halaman, dan 300.000 baris teks membuat La Galigo saat dikagumi di dunia. Karya ini dibuat sekitar abad ke-13 dan ke-15 masehi oleh bangsa Bugis Kuno. Huruf yang digunakan dalam La Galigo masih menggunakan huruf lontara kuno yang tak semua orang bisa membacanya.


La Galigo berisi banyak sekali sajak tentang penciptaan manusia. Selain itu juga cerita mitos hebat yang kadang masih diceritakan turun temurun. La Galigo dipercaya ditulis sebelum epik Mahabarata ditulis di India.Saat ini sebagian besar manuskrip asli dari La Galigo terselamatkan dan tersimpan rapi di Museum Leiden,Belanda.

Dari lima kitab kuno karya sastra di atas,menunjukkan jika bangsa kita sangatlah hebat di masa lalu. Meski dengan keterbatasan,mereka bisa membuat sesuatu yang bisa dibilang abadi.


 Semoga generasi muda sekarang tidak Lupa siapa leluhurnya.

Bisa melanjutkan kehebatan Nusantara .


Rahayu...


#nusantara #indonesia


Jangan lupa like dan share untuk dibaca dan diwariskan pada generasi nusantara yang akan datang 

Pesona Keindahan Kekayaan Indonesia